Rabu, 13 Juni 2012

Laporan PTK : Metode SAVI untuk Bahasa Indonesia SD

Peningkatan Kemampuan Membaca Pemahaman Dengan Pendekatan SAVI (Somatis, Auditori, Visual Dan Intelektual) Pada Siswa Kelas VI SD Negeri Kutawaru 04 Kecamatan Silacap Tengah Kabupaten Cilacap Tahun Pelajaran 2009-2010


Oleh:
Suswandi

Magister Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura, Surakarta


Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora adalah jurnal ilmiah artikel hasil penelitian ilmu-ilmu humaniora seperti teologi, filsafat, ilmu hukum, filologi, ilmu bahasa, kesusasteraan, ilmu kesenian, dan lain-lain. Periode penerbitannya adalah 2 kali dalam setahun dan terbit pertama pada Februari 2000.
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Humaniora Volume 11 Th. 2010
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Abstrak:

Tujuan penelitian ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dan keaktivan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia pada aspek membaca pemahaman siswa kelas VI SD Negeri Kutawaru 04 Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap melalui penerapan pendekatan SAVI. PTK menggunakan model Elliots yang menyatakan bahwa penelitian tindakan sebagai serangkaian langkah yang membentuk spiral. PTK dilaksana-kan dalam 3 siklus, dan masing-masing siklus terdiri dari 2 kali pertemuan. Setiap si-klus memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planing),tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting) Subjek penelitian tindakan ini adalah siswa kelas VI sejumlah 35 siswa, laki-laki 15 siswa perempuan 20 siswa dan guru kelas kelas VI SD Negeri Kutawaru 04 kecmatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap. Teknik pengumpulan data meliputi pengamatan, wawancara, kajian dokumen, angket, dan tes. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komparatif dan analisis kritis. Teknik yang digunakan untuk memeriksa validitas data antara lain adalah triangulasi dan review informan kunci Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik deskriptif komparatif dan analisis kritis. Simpulan penelitian ini yaitu pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman di kelas VI SD Kutawaru 04 Kecamatan Cilacap Tengah, dapat berjalan dengan efektif dengan diterapkannya pendekatan SAVI Keaktifan siswa dari siklus I, II dan III berangsur-angsur meningkat dari 67,62%, 88,57% dan 93,65%. Di samping itu, terjadi peningkatan nilai rata-rata kemampuan membaca pemahaman dari siklus I hingga Created by User siklus III. Siklus I jumlah siswa yang tuntas mencapai 23 siswa (66,67%), sebelumnya uji coba awal hanya 17 siswa (47,62%). sedangkan nilai rata-rata yang dicapai pada siklus I sebesar 65,71. Sebelumnya, nilai rata-rata uji coba awal 60,24. Pada siklus II ada peningkatan (4,76%) sehingga jumlah siswa yang tuntas sebanyak 24 siswa (71,43%). Dan nilai rata-rata mencapai 72,38. Dilihat dari rerata sudah mencapai batas KKM, namun dari segi ketuntasan klasikal belum tercapai sehingga dilanjutkan tindakan siklus III. Hasilnya cukup memuaskan karena jumlah siswa tuntas sudah mencapai 90,48%, dan reratanya mencapai 80,24.
.
Kata Kunci: membaca pemahaman, pendekatan SAVI dan PTK

Sebagian Isi JurnalPenelitian:

...............
Pembelajaran tidak otomatis meningkat dengan menyuruh anak berdiri dan bergerak. Akan tetapi, menggabungkan gerak fisik dengan aktivitas intelektual dan penggunaan semua indra dapat berpengaruh besar terhadap pembelajaran. Pendekatan seperti ini dinamakan dengan pendekatan SAVI. Unsur-unsurnya mudah diingat, yaitu :
a. Somatis : Belajar dengan bergerak dan berbuat,
b. Auditori : Belajar dengan berbicara dan mendengar,
c. Visual : Belajar dengan mengamati dan menggambarkan, dan
d. Intelektual : Belajar dengan memecahkan masalah dan merenung .
Belajar bisa optimal jika keempat unsur SAVI ada dalam suatu peristiwa pembelajaran. Pembelajaran dapat meningkatkan kemampuan mereka memecahkan masalah (Intelektual) jika mereka secara simultan menggerakkan sesuatu (Somatis) untuk menghasilkan pictogram atau pajangan tiga dimensi (Visual) sambil membicarakan apa yang sedang mereka kerjakan (Auditori). Menggabungkan keempat modalitas belajar dalam satu peristiwa pembelajaran adalah inti dari Pembelajaran Multi Indrawi.

Pertama, membaca secara Somatis. Ini berarti bahwa saat membaca, kita perlu melibatkan fisik kita. Membaca akan efektif apabila posisi tubuh kita dalam keadaan yang relaks, tidak tegang. Apabila selama membaca mengalami rasa jenuh, dicoba menghentikan proses pembacaan sejenak, lalu menggerakkan seluruh tubuh kita. Dengan menggerakkan seluruh tubuh kita, pikiran dan perasaan kita akan merasa segar kembali.

Kedua, membaca secara Auditori. Kadang-kadang kita menemui beberapa kalimat yang kita baca yang sulit sekali kita cerna. Atau, pada saat membaca, tiba-tiba ditemukan baris-baris kalimat yang menarik namun kita sulit berkonsentrasi untuk memahaminya. Apabila terjadi demikian, dicoba kalimat-kalimat tersebut dibaca secara keras sehingga telinga-lahir kita mendengarnya secara jelas. Dengan begitu, kita akan dapat lebih cepat dan akurat memahami kalimat tersebut.

Ketiga, membaca secara Visual. Menurut Eric Jensenn (dalam Meier, 2005), seorang pakar pendidikan yang tekun meneliti hubungan learning dan brain, di benak kita akan merasa “fun” apabila pada saat pertama kali menyerap informasi, benak itu diberi informasi dalam bentuk gambar (ikon atau simbol atau ornamen) dan informasi itu memiliki kekayaan warna. Buku yang mampu membuat para pembacanya merasa senang sebaiknya memang diberi sentuhan visual atau dalam bahasa yang lain dengan menggunakan bahasa rupa.

Keempat, membaca secara Intelektual. Kata intelektual yang digunakan di sini perlu diberi catatan khusus. Arti intelektual yang digunakan di sini tidak melulu berhubungan dengan kegiatan berpikir yang kering, tetapi menggabungkan atau merumuskan yang kaya akan nuansa. Ini hanya dapat dicapai apabila difungsikan potensi intelek kita untuk menuju sebuah perenungan yang intens. Ada kemungkinan perenungan yang intens ini akan mengarah kepada pemberian makna berkaitan dengan aktivitas membaca kita.................DST.

BACA SELENGKAPNYA DI SINI.
Baca Selengkapnya

Senin, 11 Juni 2012

Laporan PTK: Kemampuan Mengemukakan Pendapat

Penerapan Strategi Modeling Partisan untuk Meningkatkan Kemampuan Mengungkapkan


Oleh:

Purwanti Ningsih ( Alumni Prodi BK FIP Unesa) 
Sutijono (Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa)

Sumber:
Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Universitas Negeri Surabaya.
Volume 12 no 2 Desember 2011.
http://ppb.jurnal.unesa.ac.id/


Abstrak: 

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi modeling partisipan dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Jenis penelitian ini adalah pre-experimental dengan menggunakan one group pre-test and post-test design. Subyek penelitian ini adalah 5 siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya yang memiliki kemampuan rendah dalam mengungkapkan pendapat di kelas. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas. Jenis angket yang digunakan adalah angket tertutup dengan 4 pilihan jawaban yang terdiri dari selalu, sering, jarang dan tidak pernah. Analisis data yang digunakan adalah statistik non parametrik dengan uji tanda (sign test). Setelah diadakan analisis dengan menggunakan uji tanda, dapat diketahui bahwa ρ = 0,031 lebih kecil dari α sebesar 5% = 0,05. Artinya setelah penerapan strategi modeling partisipan, siswa mengalami peningkatan kemampuan mengungkapkan pendapat dari kategori rendah menjadi kategori sedang. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada perbedaan skor antara sebelum dan sesudah penerapan strategi modeling partisipan terhadap peningkatan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas.
Kata kunci: Strategi modeling partisipan, kemampuan mengungkapkan pendapat
strategi modeling partisipan
strategi modeling partisipan

SEBAGIAN ISI MAKALAH:

.................................

Strategi Modeling Partisipan

Bandura (dalam Cormier, 1985:336), menyatakan bahwa “participant modelling quickly achieved very high levels of change on behavioral, attitudinal, and perceived self efficacy measures in dealing with a feared stimulus“ yang artinya, “Modeling partisipan mempercepat level perubahan terhadap perilaku, sikap dalam menghadapi rangsangan yang mengkhawatirkan“. Dalam Kamus Psikologi (1987:285), Kartono menyatakan modeling partisipan merupakan bentuk pelajaran dimana seseorang siswa melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan dan meniru sikap serta tingkah laku orang lain.
Sedangkan menurut Gunarsa (2001:220), memberikan pengertian Modeling Partisipan adalah : “Proses belajar mengobservasi perilaku individu atau kelompok tertentu, dan kemudian individu tersebut beraksi sesuai dengan individu atau kelompok yang diobservasi sesuai dengan stimulus (pikiran sikap, atau perilaku) yang telah ditangkapnya”.

Menurut Bandura, strategi modeling partisipan merupakan suatu proses belajar mengajar mengamati tingkah laku individu atau kelompok melalui kegiatan demonstrasi dengan ketentuan adanya seseorang sebagai model, adanya pihak pengamat yang mengamati tingkah laku untuk menghasilkan tingkah laku baru yang diinginkan (Udiyastutik, 2009).

Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi modeling partisipan adalah suatu strategi yang digunakan untuk membantu seseorang yang mengalami kesulitan dalam menghadapi kondisi yang mengkhawatirkan melaui observasi terhadap perilaku yang dimodelkan oleh seseorang sehingga dapat menumbuhkan motivasi pada diri konseli dan akhirnya memperoleh perubahan perilaku yang semakin membaik.

Tujuan modeling partisipan dalam Cormier (1985:328), berbunyi : “Modelling can help a person perform an already acquire new behavior in more appropriate ways or at more desirable times” yang artinya Modeling dapat membantu penampilan seseorang yang memiliki tingkah laku yang belum siap di dalam cara yang lebih tepat/pada waktu yang lebih diinginkan. Nursalim (2005:75), menyatakan Modeling partisipan digunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan. Menurut Gunarsa (2001:222), tujuan modeling atau peniruan melalui penokohan adalah membantu klien menghadapi phobia, gangguan psikologi, gangguan dalam pergaulan misalnya di sekolah.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan tujuan dari Modeling partisipan adalah untuk membantu klien dalam mengurangi perasaan dan perilaku yang menghindar, mendapatkan keterampilan sosial, modifikasi perilaku verbal dan mendapatkan respon–respon phobia pada situasi yang mengkhawatirkan.

Dalam Nursalim (2005:76) ada 4 komponen dasar Modeling Partisipan yaitu rationale, modeling, partisipasi terbimbing, dan pengalaman yang berhasil. Di bawah ini akan diuraikan keempat komponen tersebut.

Pertama, Rasional. Berikut ini adalah contoh rasional Modeling partisipan yang dapat diberikan oleh konselor kepada klien: “Prosedur ini digunakan dalam membantu anda untuk mengatasi ketakutan atau perilaku baru. Ada tiga hal utama yang akan kita lakukan yaitu ; pertama, anda akan melihat beberapa orang mendemonstrasikan. Kedua, anda akan mempraktekkan kemampuan tersebut dengan bimbingan saya selama wawancara konseling ini berlangsung. Ketiga, kami akan mengatur bagi anda untuk melakukan kemampuan tersebut di luar wawancara konseling yang memungkinkan anda memperoleh keberhasilan. Jenis praktek ini akan membantu anda menampilkan apa yang anda rasa sulit anda lakukan. Apakah anda mau mencobanya sekarang?”.

Kedua, Modeling. Komponen modeling dari Modeling partisipan terdiri dari 5 bagian, yaitu : 1) Perilaku sasaran. Langkah pertama yang harus dilakukan konselor adalah menentukan perilaku sasaran. Perilaku sasaran yang kompleks harus dibagi dalam sub skill / subtask dalam suatu rangkaian hirarki. 2) Mengatur subskill. Konselor dan klien perlu mengatur subskill atau sub task dalam suatu hirarkhi. Suatu hirarkhi dimulai dari situasi yang paling sedikit ancamannya atau situasi ynag paling tidak menakutkan ; kemudian diikuti kemampuan atau situasi yang lebih kompleks dan yang lebih besar ancamannya. Hirarkhi yang paling ringan dikerjakan terlebih dahulu menyusul hirarkhi yang lebih kompleks. 3) Memilih model. Sebelum melaksanakan komponen modelling, perlu dilakukan seleksi terhadap model yang tepat. Kadang – kadang yang paling efisien adalah menggunakan konselor sebagai model. Keuntungan yang lebih besar diperoleh bila digunakan model yang agak serupa dengan klien. 4) Instruksi sebelumnya bagi klien. Sebelum demonstrasi model, untuk menarik perhatian klien pada model, konselor harus memberi instruksi kepada klien tentang apa yang akan dimodelkan. Klien disuruh mencatat bahwa model akan dimintai tanggapan–tanggapan tertentu tanpa mengalami akibat yang merugikan.

Ketiga, demonstrasi model. Dalam Modeling partisipan, seorang model mendemonstrasikan satu bagian kemampuan sekaligus. Sering kali diperlukan demonstrasi yang diulang atas tanggapan yang sama. Setelah demonstrasi perilaku atau aktivitas, klien diberikan kesempatan dan bimbingan yang perlu untuk menampilkan perilaku yang dimodelkan. Partisipasi terbimbing adalah salah satu komponen pembelajaran yang paling penting untuk mengatasi situasi yang menakutkan, dan untuk memperoleh perilaku yang baru. Partisipasi ini ditujukan untuk “pengangkatan kemampuan baru dan keyakinan, daripada membuka kekurangan“.
Partisipasi terbimbing terdiri atas 5 langkah yang masing masing langkah akan digambarkan dan diilustrasikan sebagai berikut. 1) Praktek Klien. Setelah model mendemostrasikan aktivitas atau perilaku, klien diminta melakukan apa yang dimodelkan. Konselor meminta klien menampilkan setiap perilaku dalam hirarkhi. Klien menampilkan setiap aktivitas atau perilaku, mulai dengan langkah pertama dalam hirarkhi, sampai dia dapat melakukan dengan penuh terampil dan percaya diri. 2) Umpan Balik Konselor..............................

BACA SELENGKAPNYA MAKALAH INI SEBAGAIMANA ASLINYA DI SINI
Baca Selengkapnya

PTK : Cara Menulis Rumusan Masalah

Menulis Rumusan Masalah PTK

Beberapa waktu yang lalu saya telah menulis bagaimana cara menulis bagian LATAR BELAKANG MASALAH pada proposal atau laporan PTK (Penelitian Tindakan Kelas), yaitu Cara Menulis Latar Belakang Masalah dan Cara Menulis Latar Belakang Masalah Bagian II.

Sebagaimana yang mungkin telah banyak para pendidik dan calon pendidik ketahui, bagian berikutnya yang harus ditulis bagian LATAR BELAKANG MASALAH adalah RUMUSAN MASALAH. Nah, tulisan kali ini mencoba membagi secuil pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki mengenai cara menulis Rumusan Masalah pada proposal atau laporan PTK.

Petunjuk Menulis Rumusan Masalah PTK

Sebagaimana yang ditulis oleh Sukajati (2008), bahwa pada intinya, rumusan masalah seharusnya mengandung deskripsi tentang kenyataan yang ada dan keadaan yang diinginkan. Dalam merumuskan masalah PTK, ada beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai acuan yang disarikan dari Suyanto (1997) dan Sukarnyana (1997). Beberapa petunjuk tersebut antara lain:
  • masalah hendaknya dirumuskan secara jelas, dalam arti tidak mempunyai makna ganda dan pada umumnya dapat dituangkan dalam kalimat tanya;
  • rumusan masalah hendaknya menunjukkan jenis tindakan yang akan dilakukan dan hubungannya dengan variabel lain;
  • rumusan masalah hendaknya dapat diuji secara empirik, artinya dengan rumusan masalah itu memungkinkan dikumpulkannya data untuk menjawab pertanyaan tersebut (operasional).

Selain itu, Wardhani, dkk (2007) mengingatkan bahwa Rumusan Masalah harus dirumuskan secara operasional sehingga perbaikan pembelajaran saat PTK dilaksanakan dapat terarah. Wiriatmadja (2008) menyarankan agar terhapus keraguan bahwa guru telah benar-benar memfokuskan permasalahan untuk diteliti, ada baiknya guru melakukan diskusi dengan guru teman sejawat, atau meminta bantuan dosen LPTK yang telah terbiasa menggunakan model penelitian tindakan ini.

Contoh dan Praktek Menulis Rumusan Maslah PTK

Baiklah, sekarang cukup dulu untuk teorinya, mari sekarang kita mencoba untuk menuliskan RUMUSAN MASALAH pada suatu penelitian tindakan kelas. Perhatikan contoh berikut, di mana RUMUSAN MASALAH ini ditulis sebagai kelanjutan dari LATAR BELAKANG MASALAH yang telah ditulis di sini. Pada contoh ini, proposal atau laporan PTK mempunyai 3 rumusan masalah sekaligus.

  1. Bagaimanakah aktivitas siswa kelas VII SMP Negeri 4 Danau Panggang saat mengikuti pembelajaran yang dalam perancangannya menggunakan task analysis?
  2. Bagaimanakah pengelolaan pembelajaran yang dilakukan guru saat melaksanakan pembelajaran yang dalam perancangannya menggunakan task analysis?
  3. Apakah penggunaan task analysis dapat meningkatkan hasil belajar fisika siswa kelas VII SMP Negeri 4 Danau Panggang?

Perhatikan bahwa RUMUSAN MASALAH di atas disusun dalam bentuk kalimat tanya, menunjukkan adanya tindakan yang dilakukan (penggunaan task analysis pada perancangan pembelajaran), dan menunjukkan hubungan jenis tindakan dengan variabel lain yang berkaitan sebagai efek pelaksanaan tindakan (dalam hal ini aktivitas siswa, pengelolaan pembelajaran oleh guru, dan yang terpenting hasil belajar siswa). Selain itu, tampak pula bahwa ketiga rumusan masalah tersebut bersifat operasional (memungkinkan untuk diuji secara empirik melalui pengumpulan data aktivitas siswa, data pengelolaan pembelajaran oleh guru, dan data nilai siswa untuk variabel hasil belajar).

Contoh berikut ini adalah contoh di mana rumusan masalah pada proposal atau laporan PTK hanya ditulis sebagai satu kalimat (tidak diurai menjadi beberapa kalimat rumusan masalah sebagaimana contoh sebelumnya di atas. Beberapa contoh RUMUSAN MASALAH PTK itu misalnya:
  1. Bagaimana cara menggunakan alat peraga, berkomunikasi dengan siswa, memberikan balikan, dan menggunakan penguatan untuk memotivasi siswa agar tertarik dengan mata pelajaran matematika? (Wardhani, dkk: 2007)
  2. Bagaimana cara membuat penjelasan lebih mudah dipahami, mengaktifkan siswa, dan menggunakan alat peraga, sehingga mampu meningkatkan prestasi siswa dalam IPS? (Wardhani, dkk: 2007).
Perhatikan, kedua contoh di atas dirumuskan dalam kalimat tanya, yang ditandai dengan akhir kalimat yang diberi tanda tanya (?) dan dimulai dengan kata tanya “bagaimana”. Beberapa narasumber PTK yang pernah saya tanya, lebih menyarankan penggunaan kata bagaimana untuk memulai rumusan masalah dibanding penggunaan kata apakah. Menurut para narasumber tersebut, kata tanya apakah cenderung hanya merujuk pada jawaban ya atau tidak, sementara kata bagaimana lebih merujuk pada jawaban yang lebih bersifat open ended yang menuntut jawaban yang lebih panjang sebagai bentuk penjelasan terhadap fokus penelitian yang dilaksanakan. Kemudian perhatikan pula, pada contoh pertama dan kedua menunjukkan adanya tindakan yang dilakukan dan hubungannya dengan variabel lain.

Pada contoh pertama, "tindakan" yang dilakukan adalah: (1) cara mennggunakan alat peraga; (2) cara berkomunikasi dengan siswa; (3) cara memberikan balikan; (4) cara menggunakan penguatan,
Pada contoh kedua, "tindakan" yang dilakukan adalah: (1) cara membuat penjelasan lebih mudah dipahami; (2) cara mengaktifkan siswa; (3) cara menggunakan alat peraga.

Variabel lain (yang menjadi sasaran perbaikan) pada contoh pertama adalah “memotivasi siswa sehingga tertarik dengan mata pelajaran matematika. Sedangkan pada contoh kedua adalah: “prestasi IPS”.

Demikian sekelumit tulisan tentang cara menulis rumusan masalah pada proposal atau laporan PTK (penelitian tindakan kelas). Rencananya, pada tulisan berikutnya, topik ini akan kembali diulas untuk memberikan contoh-contoh yang lebih banyak kepada para pembaca blog ini. Semoga bermanfaat. Salam.

Referensi:

  • Sukajati. 2008. Penelitian Tindakan Kelas Di SD. Pusat Pengembangan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Matematika. Yogyakarta. [Tersedia Online di http://p4tkmatematika.org/fasilitasi/cek2.php?link=5-Penelitian-Tindakan-kelas%20SD.pdf
  • Wardhani, dkk. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Universitas Terbuka. Jakarta.
  • Wiriaatmadja, Rochiati. 2008. Metode Penelitian Tindakan Kelas. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.
Baca Selengkapnya

Rabu, 06 Juni 2012

Penelitian Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Realistik

Pengembangan Materi Dan Model Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media Dan Berkonteks Lokal Surakarta Dalam Menunjang KTSP

 Oleh:
Slamet Hw dan Nining Setyaningsih
Jurusan Pendidikan Matematika,
FKIP - Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jalan A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Surakarta

Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora Vol. 11, No. 2, Agustus 2010
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Abstrak

Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menguji derajat keterpakaian model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Berbasis Media dan Berkonteks Lokal.Ujicoba dilaksanakan di tiga Sekolah Dasar di tiga Kabupaten/Kota yaitu Surakarta, Sukoharjo dan Boyolali. Melalui seting Penelitian Tindakan Kelas (PTK) diperoleh simpulan bahwa: (1) model yang dirancang dapat diimplementasikan dengan baik di semua tingkatan mulai Kelas 1 sampai Kelas 6, (2) media Pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah diperoleh di semua lokasi ujicoba, (3) media pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah digunakan, baik oleh guru maupun siswa, (4) penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal dapat meningkatkan: minat, keaktifan, kreativitas, kemandirian, dan penguasaan konsep siswa, dan (5) ternyata pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang lebih lama karena guru-guru belum biasa dengan model yang baru. Dari temuan tersebut dapat dinyatakan bahwa model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal (Surakarta) memiliki derajat keterpakaian yang tinggi, cukup efektif, namun kurang efisien karena memerlukan waktu yang cukup.

Kata Kunci: pembelajaran matematika realistik, berbasis media, dan berkonteks lokal.
pembelajaran matematika realistik
Model Pembelajaran Matematika Realistik

Pendahuluan

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengindikasikan bahwa seorang peserta didik dapat menjadikan dirinya sebagai sumber daya manusia yang handal dan mampu berkompetisi secara global. Untuk ini dibutuhkan kemampuan dan keterampilan tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, serta mampu bekerja sama secara efektif dan efisien. Di dalam pendidikan matematika pola pikir tersebut dikembangkan secara berkesinambungan karena matematika merupakan ilmu yang memiliki struktur dan hubungan yang kuat antara satu konsep dengan konsep lainnya. Kaidah dan aturan yang berlaku dalam matematika tersusun dalam bahasa yang tegas dan tuntas sehingga pengguna dapat mengkomunikasikan gagasannya secara lebih praktis, sistematis, dan efisien. Dengan demikian, peserta didik yang belajar matematika akan berkembang bukan hanya pengetahuan matematikanya, melainkan juga kemampuan berkomunikasi, bernalar, dan memecahkan masalah.

Pada dasarnya belajar matematika haruslah dimulai dari mengerjakan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (Matematika Realistik). Melalui mengerjakan masalah matematika yang dikenal dan berlangsung dalam kehidupan nyata, peserta didik membangun konsep dan pemahaman dengan naluri, insting, daya nalar, dan konsep yang sudah diketahui. Mereka membentuk sendiri struktur pengetahuan matematika mereka melalui bantuan guru dengan mendiskusikan kemungkinan alternatif jawaban yang ada. Dalam hal ini jawaban yang paling efisienlah yang diharapkan, tanpa mengabaikan alternatif lainnya.

Pembentukan pemahaman matematika melalui pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan siswa beberapa keuntungan. Pertama, siswa dapat lebih memahami hubungan yang erat antara matematika dan situasi, kondisi, dan kejadian di lingkungan sekitarnya. Banyak sarana di sekeliling mereka yang mengandung unsur matematika di dalamnya. Kedua, siswa terampil menyelesaikan masalah secara mandiri dengan menggunakan kemampuan yang ada. Dalam hal ini pengembangan “Learning for living” dan “Life skill” mendapat porsi yang sebenarnya. Ketiga, siswa membangun pemahaman pengetahuan matematika mereka secara mandiri sehingga menumbuhkembangkan rasa percaya diri yang proporsional dalam bermatematika. Siswa tidak takut terhadap pelajaran matematika.

Ditinjau dari kerangka pengembangan pembaharuan sistem pendidikan, penerapan model pembelajaran berdasarkan potensi lingkungan sekitar adalah sesuai dengan ide desentralisasi pendidikan. Bahwa desentralisasi merupakan upaya perbaikan efektivitas dan efisiensi pendidikan yang diharapkan dapat menumbuh-kembangkan kemampuan daerah untuk meningkatkan potensinya secara mandiri. Oleh karena itu, pengembangan model pembelajaran matematika yang berbasis media dan berkonteks lokal (dari lingkungan nyata yang dikenal siswa) sangat diperlukan guna memperkaya pengetahuan matematika siswa dan mendekatkan siswa pada lingkungannya. Pengembangan model pembelajaran ini melibatkan guru dan para ahli pendidikan matematika sehingga diharapkan dapat menghasilkan alur dan strategi pembelajaran yang efektif dan sesuai dengan kondisi lokal.

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyarankan dalam penggunaan strategi pembelajaran hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Untuk meningkatkan keefektivan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, konstruktivisme dipandang sebagai alternatif pendekatan yang sesuai. Diasumsikan bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa /gejala di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat para ahli pendidikan bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang diketahui siswa”. Jadi, siswa membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya, dimulai dari gagasan non-ilmiah menjadi pengetahuan ilmiah.

Guru berperan sebagai “fasilitator dan penyedia kondisi” supaya proses belajar dapatberlangsung. Diskusi kelas yang interaktif, demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah, dan pengujian hasil penelitian sederhana merupakan kondisi belajar yang kondusif. Kondisi kelas seperti ini akan memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya, menjawab, berdiskusi, dan mengemukakan pendapat, gagasan, dan ide secara sistematis. Kondisi inilah yang dapat menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi yang menghargai kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman dan perbedaan siswa dan lingkungannya.

Dalam pembelajaran matematika model yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme dan kontekstual adalah Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Model ini dikembangkan di Belanda, bertumpu pada filosofi Freudenthal (1973) yang menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, dan semua unsur matematika dalam kehidupan sehari-hari harus diberdayagunakan untuk membelajarkan matematika di kelas.

Selain mematematikakan masalah dari kehidupan sehari-hari, siswa diberi kesempatan untuk  mematematikakan konsep, notasi, model, prosedur, operasi dan pemecahan masalah matematika lainnya. Sebagai aktivitas manusia, materi matematika harus ditemukan sendiri oleh siswa. Mereka belajar membentuk model (formal atau tidak formal) berdasarkan soal yang disajikan. Pada akhirnya mereka juga akan membentuk sendiri struktur dan pemahaman dan pengetahuan formal matematika mereka. Kesempatan yang diberikan untuk mengerjakan soal matematika dari kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri akan menolong siswa membentuk pemahaman baru akan konsep dan operasi matematika. Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu (a) “penemuan terbimbing” dan “bermatematika secara maju” (guided reinvention and progressive mathematization), (b) fenomena pembelajaran (didactical phenomenology), dan (c) model pengembangan mandiri (emerged model). Prinsip pertama “Penemuan terbimbing” berarti siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual ini mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku (Goffree, 1993). Berdasarkan soal, siswa membangun model dari situasi soal (dalam bentuk formal atau tidak formal), kemudian menyusun model matematika untuk menyelesaikannya hingga siswa mendapatkan pengetahuan formal matematika.................

Download selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.
Baca Selengkapnya

Laporan Penelitian tentang Model Pembelajaran Berkehidupan Bersama

Model Pembelajaran Berkehidupan Bersama Lintas Etnik Dan Agama (Interethnic And Interreligous Model For Learning To Live Together)

Oleh:
M. Thoyibi ( Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Yayah Khisbiyah( Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Abdullah Aly (Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)
Zakiyuddin Baidhowy (Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta)

Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora Universitas Muhammadiyah Surakarta
Humaniora Volume 9 No. 1, Februari 2008
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Sebagian isi makalah:

Pendahuluan

Berbagai kerusuhan dan ketegangan sosial yang terjadi di tanah air dalam dasawarsa sejak akhir 1980-an sampai pada tingkat tertentu menunjukkan bahwa realitas bangsa Indonesia yang multi-etnik dan multi-agama ini belum dapat dikelola dengan baik. Kerusuhan-kerusuhan tersebut mengisyaratkan bahwa pendekatan dan strategi yang telah diterapkan, terutama selama pemerintahan Orde Baru, tak lagi tepat untuk digunakan dalam konteks masa kini. Oleh karena itu, seluruh komponen bangsa Indonesia, baik pemerintah, perguruan tinggi, maupun organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya perlu berusaha menemukan cara-cara yang lebih tepat dalam mengelola keaneka-ragaman masyarakat ini.

Di samping faktor politik, ekonomi, dan paham keagamaan, perbedaan latar belakang etnik merupakan faktor yang sering mewarnai berbagai kerusuhan selama ini, sebagaimana tercermin pada kerusuhan di Pontianak (etnik Dayak melawan etnik Madura), Jakarta (etnik Jawa/Sunda melawan etnik Cina), dan Surakarta (etnik Jawa melawan etnik Cina dan Arab). Dalam beberapa kasus kerusuhan, faktorfaktor tersebut teranyam satu sama lain sedemikian rupa, sehingga faktor yang satu sulit dipisahkan dari faktor lainnya. Meskipun faktor perbedaan etnik sering dinafikan dalam berbagai pernyataan resmi, kenyataan menunjukkan bahwa terdapat suatu kelompok etnik tertentu yang menjadi sasaran dan sekaligus korban dominan di dalam kerusuhan-kerusuhan tersebut. Dalam kasus kerusuhan Mei 1988 di Jakarta dan Surakarta, misalnya, pemicu-nya adalah faktor politik tetapi kemudian berkembang menjadi sentimen etnik. Sementara itu, kerusuhan di Surakarta pada tahun 1980, pemicunya adalah kecelakaan lalu-lintas antara dua pemuda, tetapi kemudian berkembang menjadi kerusuhan anti-Cina. Kenyataan ini menyiratkan bahwa perbedaan latar belakang etnik potensial untuk memicu kerusuhan, mengubah inti persoalan kerusuhan, atau meningkatkan eskalasi kerusuhan.

Surakarta merupakan salah satu kota yang memiliki keanekaragaman etnik dan agama serta memiliki sejarah kerusuhan yang berulang-ulang, sejak sebelum kemerdekaan hingga akhir abad ke-20 dengan faktor pemicu yang berbeda-beda. Hasil penelitian Mulyadi dkk. (1999) tentang radikalisasi sosial masyarakat Surakarta menunjukkan adanya pola keberulangan peristiwa kerusuhan dan menyebutkan angka frekuensi kejadian sedemikian tinggi dalam sejarah kota Surakarta Kenyataan di atas menunjukkan betapa relasi antaretnik di Surakarta merupakan konflik laten yang potensial meletus sewaktu-waktu dalam bentuk kerusuhan. Konflik laten ini potensial untuk berubah menjadi konflik manifes karena adanya bentuk-bentuk bias dalam relasi antaretnik, baik dalam bentuk stereotip (pendapat atau pandangan yang menggeneralisasikan ciri-ciri seseorang atau sekelompok orang berdasarkan keanggotaannya dalam kelompok tertentu), prasangka (perasaan atau sikap negatif pada orang/kelompok yang dicitrakan dalam ...............................

Metode Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah survei dalam rangka need assessment untuk mengetahui kondisi sekolah dan interaksik sosial siswa dalam pergaulan sehari-hari di sekolah. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data meliputi wawancara dan angket.

Wawancara dilakukan kepada para informan, yang terdiri dari tujuh siswa SMA di wilayah penelitian. Informan yang diwawancarai dipilih secara purposif. Di antara pertimbangan utama yang digunakan dalam menentukan informan adalah bahwa informan merupakan siswa SMA yang masih aktif dan mewakili variasi ketiga etnik di wilayah penelitian (Jawa, Tionghoa, dan Arab).

Adapun angket diberikan kepada kepala sekolah dan guru BK/BP dari lima sekolah yang berbeda. Sampai pada tingkat tertentu kelima sekolah yang dipilih mewakili variasi sekolah yang ada di wilayah penelitian, yaitu sekolah negeri, sekolah swasta Islam, sekolah swasta Katholik, dan sekolah swasta Kristen. Angket untuk kepala sekolah menekankan pada hal-hal yang terkait dengan kebijakan, baik dalam kaitannya dengan penerimaan siswa, pendidikan agama, muatan kurikulum lokal, maupun kegiatan ekstrakurikuler. Adapun angket untuk guru BK/BP menekankan pada hal-hal yang terkait dengan pergaulan siswa beserta permasalahan yang timbul dalam interaksi sosial siswa dan cara-cara yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan.

Data yang terkumpul melalui wawancara dan angket dianalisis secara deskriptif dan selanjutnya hasil analisis dijadikan bahan pertimbangan untuk mendesain model konseptual pembelajaran untuk berkehidupan bersama. Secara rinci langkah-langkah penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi berbagai masalah yang timbul dalam interaksi sosial siswa sehari-hari di sekolah. Identifikasi persoalan ini didasarkan atas data yang terkumpul melalui wawancara dengan siswa dan hasil pengamatan guru BK/BP terhadap interaksi sosial siswa di sekolah, yang dituangkan secara tertulis dalam angket.
2. Mendesain model konseptual pembelajaran berkehidupan bersama yang dituangkan dalam bentuk modul pembelajaran. Modul ini mencakup materi, tujuan, strategi dan sarana/prasarana yang diperlukan dalam pembelajaran berkehidupan bersama. Materi pembelajaran pembelajaran berkehidupan bersama dirumuskan berdasarkan hasil identifikasi terhadap persoalan yang..................

Download selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.
Baca Selengkapnya