Penerapan Strategi Modeling Partisan untuk Meningkatkan Kemampuan Mengungkapkan
Oleh:
Purwanti Ningsih ( Alumni Prodi BK FIP Unesa)
Sutijono (Staf Pengajar Prodi BK FIP Unesa)
Sumber:
Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan, Universitas Negeri Surabaya.
Volume 12 no 2 Desember 2011.
http://ppb.jurnal.unesa.ac.id/
Abstrak:
Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan strategi modeling partisipan dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Jenis penelitian ini adalah pre-experimental dengan menggunakan one group pre-test and post-test design. Subyek penelitian ini adalah 5 siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya yang memiliki kemampuan rendah dalam mengungkapkan pendapat di kelas. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah angket kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas. Jenis angket yang digunakan adalah angket tertutup dengan 4 pilihan jawaban yang terdiri dari selalu, sering, jarang dan tidak pernah. Analisis data yang digunakan adalah statistik non parametrik dengan uji tanda (sign test). Setelah diadakan analisis dengan menggunakan uji tanda, dapat diketahui bahwa ρ = 0,031 lebih kecil dari α sebesar 5% = 0,05. Artinya setelah penerapan strategi modeling partisipan, siswa mengalami peningkatan kemampuan mengungkapkan pendapat dari kategori rendah menjadi kategori sedang. Hasil analisis data menunjukkan bahwa ada perbedaan skor antara sebelum dan sesudah penerapan strategi modeling partisipan terhadap peningkatan kemampuan mengungkapkan pendapat pada siswa kelas XI IPS 3 SMA Negeri 22 Surabaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan strategi modeling partisipan dapat digunakan untuk membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan mengungkapkan pendapat di kelas.Kata kunci: Strategi modeling partisipan, kemampuan mengungkapkan pendapat
strategi modeling partisipan |
SEBAGIAN ISI MAKALAH:
.................................Strategi Modeling Partisipan
Bandura (dalam Cormier, 1985:336), menyatakan bahwa “participant modelling quickly achieved very high levels of change on behavioral, attitudinal, and perceived self efficacy measures in dealing with a feared stimulus“ yang artinya, “Modeling partisipan mempercepat level perubahan terhadap perilaku, sikap dalam menghadapi rangsangan yang mengkhawatirkan“. Dalam Kamus Psikologi (1987:285), Kartono menyatakan modeling partisipan merupakan bentuk pelajaran dimana seseorang siswa melakukan suatu tindakan dengan memperhatikan dan meniru sikap serta tingkah laku orang lain.Sedangkan menurut Gunarsa (2001:220), memberikan pengertian Modeling Partisipan adalah : “Proses belajar mengobservasi perilaku individu atau kelompok tertentu, dan kemudian individu tersebut beraksi sesuai dengan individu atau kelompok yang diobservasi sesuai dengan stimulus (pikiran sikap, atau perilaku) yang telah ditangkapnya”.
Menurut Bandura, strategi modeling partisipan merupakan suatu proses belajar mengajar mengamati tingkah laku individu atau kelompok melalui kegiatan demonstrasi dengan ketentuan adanya seseorang sebagai model, adanya pihak pengamat yang mengamati tingkah laku untuk menghasilkan tingkah laku baru yang diinginkan (Udiyastutik, 2009).
Dari pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa strategi modeling partisipan adalah suatu strategi yang digunakan untuk membantu seseorang yang mengalami kesulitan dalam menghadapi kondisi yang mengkhawatirkan melaui observasi terhadap perilaku yang dimodelkan oleh seseorang sehingga dapat menumbuhkan motivasi pada diri konseli dan akhirnya memperoleh perubahan perilaku yang semakin membaik.
Tujuan modeling partisipan dalam Cormier (1985:328), berbunyi : “Modelling can help a person perform an already acquire new behavior in more appropriate ways or at more desirable times” yang artinya Modeling dapat membantu penampilan seseorang yang memiliki tingkah laku yang belum siap di dalam cara yang lebih tepat/pada waktu yang lebih diinginkan. Nursalim (2005:75), menyatakan Modeling partisipan digunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau situasi yang mengkhawatirkan. Menurut Gunarsa (2001:222), tujuan modeling atau peniruan melalui penokohan adalah membantu klien menghadapi phobia, gangguan psikologi, gangguan dalam pergaulan misalnya di sekolah.
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan tujuan dari Modeling partisipan adalah untuk membantu klien dalam mengurangi perasaan dan perilaku yang menghindar, mendapatkan keterampilan sosial, modifikasi perilaku verbal dan mendapatkan respon–respon phobia pada situasi yang mengkhawatirkan.
Dalam Nursalim (2005:76) ada 4 komponen dasar Modeling Partisipan yaitu rationale, modeling, partisipasi terbimbing, dan pengalaman yang berhasil. Di bawah ini akan diuraikan keempat komponen tersebut.
Pertama, Rasional. Berikut ini adalah contoh rasional Modeling partisipan yang dapat diberikan oleh konselor kepada klien: “Prosedur ini digunakan dalam membantu anda untuk mengatasi ketakutan atau perilaku baru. Ada tiga hal utama yang akan kita lakukan yaitu ; pertama, anda akan melihat beberapa orang mendemonstrasikan. Kedua, anda akan mempraktekkan kemampuan tersebut dengan bimbingan saya selama wawancara konseling ini berlangsung. Ketiga, kami akan mengatur bagi anda untuk melakukan kemampuan tersebut di luar wawancara konseling yang memungkinkan anda memperoleh keberhasilan. Jenis praktek ini akan membantu anda menampilkan apa yang anda rasa sulit anda lakukan. Apakah anda mau mencobanya sekarang?”.
Kedua, Modeling. Komponen modeling dari Modeling partisipan terdiri dari 5 bagian, yaitu : 1) Perilaku sasaran. Langkah pertama yang harus dilakukan konselor adalah menentukan perilaku sasaran. Perilaku sasaran yang kompleks harus dibagi dalam sub skill / subtask dalam suatu rangkaian hirarki. 2) Mengatur subskill. Konselor dan klien perlu mengatur subskill atau sub task dalam suatu hirarkhi. Suatu hirarkhi dimulai dari situasi yang paling sedikit ancamannya atau situasi ynag paling tidak menakutkan ; kemudian diikuti kemampuan atau situasi yang lebih kompleks dan yang lebih besar ancamannya. Hirarkhi yang paling ringan dikerjakan terlebih dahulu menyusul hirarkhi yang lebih kompleks. 3) Memilih model. Sebelum melaksanakan komponen modelling, perlu dilakukan seleksi terhadap model yang tepat. Kadang – kadang yang paling efisien adalah menggunakan konselor sebagai model. Keuntungan yang lebih besar diperoleh bila digunakan model yang agak serupa dengan klien. 4) Instruksi sebelumnya bagi klien. Sebelum demonstrasi model, untuk menarik perhatian klien pada model, konselor harus memberi instruksi kepada klien tentang apa yang akan dimodelkan. Klien disuruh mencatat bahwa model akan dimintai tanggapan–tanggapan tertentu tanpa mengalami akibat yang merugikan.
Ketiga, demonstrasi model. Dalam Modeling partisipan, seorang model mendemonstrasikan satu bagian kemampuan sekaligus. Sering kali diperlukan demonstrasi yang diulang atas tanggapan yang sama. Setelah demonstrasi perilaku atau aktivitas, klien diberikan kesempatan dan bimbingan yang perlu untuk menampilkan perilaku yang dimodelkan. Partisipasi terbimbing adalah salah satu komponen pembelajaran yang paling penting untuk mengatasi situasi yang menakutkan, dan untuk memperoleh perilaku yang baru. Partisipasi ini ditujukan untuk “pengangkatan kemampuan baru dan keyakinan, daripada membuka kekurangan“.
Partisipasi terbimbing terdiri atas 5 langkah yang masing masing langkah akan digambarkan dan diilustrasikan sebagai berikut. 1) Praktek Klien. Setelah model mendemostrasikan aktivitas atau perilaku, klien diminta melakukan apa yang dimodelkan. Konselor meminta klien menampilkan setiap perilaku dalam hirarkhi. Klien menampilkan setiap aktivitas atau perilaku, mulai dengan langkah pertama dalam hirarkhi, sampai dia dapat melakukan dengan penuh terampil dan percaya diri. 2) Umpan Balik Konselor..............................
BACA SELENGKAPNYA MAKALAH INI SEBAGAIMANA ASLINYA DI SINI
0 komentar:
Posting Komentar