Teori konstruktivis yang menekankan bahwa siswa siswa harus membangun sendiri pengetahuannya menggunakan pendekatan top-down dalam pembelajaran. Istilah top-down mengacu pada, siswa memulai pembelajaran dengan menghadapi masalah-masalah rumit dan nyata dalam kehidupan sehari-hari, sebelum mereka diberikan tugas untuk mengembangkan kemampuan dasar mereka terkait mata pelajaran yang sedang dipelajari.
Sebuah contoh, pada pembelajaran dengan pendekatan top-down, siswa mungkin terlebih dahulu belajar untuk menemukan berapa uang yang diperlukan untuk membeli 2 buah pensil yang harganya Rp. 2.500,-. Mereka diberi persoalan yang terkait kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih komplek dan rumit bila dibanding konsep dasar perkalian pada mata pelajaran matematika. Nah, setelah siswa dapat menemukan uang yang dibutuhkan untuk membeli dua pensil yang harganya Rp. 2.500,- adalah sebesar Rp. 5.000,- barulah mereka diajak untuk menemukan konsep perkalian dengan bilangan yang lebih sederhana, misalnya 2 x 15, dll. Pada pendekatan top-down yang berkaitan dengan implikasi teori konstruktivis ini, sering pula persoalan komplek dimunculkan oleh siswa sendiri, bukannya dari guru, ketika mereka menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh lain misalnya, pada pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat diberi tugas mengarang. Kita ketahui tugas mengarang adalah sebuah tugas yang amat komplek dan rumit. Nah, setelah mereka berhasil membuat sebuah karangan, barulah guru mengajarkan akan tentang ejaan, tanda baca, atau tata bahasa. Jadi permasalahan pembelajaran dimunculkan dari tugas otentik, bukan dibuat-buat oleh guru Bahasa Indonesia. Guru tidak langsung mengajarkan ejaan dengan langsung membahas ejaan lalu menerapkannya dalam tugas mengarang, tetapi urutan langkahnya adalah sebaliknya.
Pada pembelajaran tradisional, pembelajaran justru lebih sering dilakukan secara bottom-up, artinya siswa diberikan tugas sederhana, lalu dilanjutkan secara bertahap kepada tugas-tugas yang lebih sulit dan komplek. Kelebihan pendekatan top-down adalah, pada pembelajaran itu, siswa diajak berpikir bagaimana cara memecahkan suatu masalah atau tugas dengan lebih aktif.
Sebuah contoh, pada pembelajaran dengan pendekatan top-down, siswa mungkin terlebih dahulu belajar untuk menemukan berapa uang yang diperlukan untuk membeli 2 buah pensil yang harganya Rp. 2.500,-. Mereka diberi persoalan yang terkait kehidupan sehari-hari yang sebenarnya lebih komplek dan rumit bila dibanding konsep dasar perkalian pada mata pelajaran matematika. Nah, setelah siswa dapat menemukan uang yang dibutuhkan untuk membeli dua pensil yang harganya Rp. 2.500,- adalah sebesar Rp. 5.000,- barulah mereka diajak untuk menemukan konsep perkalian dengan bilangan yang lebih sederhana, misalnya 2 x 15, dll. Pada pendekatan top-down yang berkaitan dengan implikasi teori konstruktivis ini, sering pula persoalan komplek dimunculkan oleh siswa sendiri, bukannya dari guru, ketika mereka menemukan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh lain misalnya, pada pembelajaran Bahasa Indonesia, siswa dapat diberi tugas mengarang. Kita ketahui tugas mengarang adalah sebuah tugas yang amat komplek dan rumit. Nah, setelah mereka berhasil membuat sebuah karangan, barulah guru mengajarkan akan tentang ejaan, tanda baca, atau tata bahasa. Jadi permasalahan pembelajaran dimunculkan dari tugas otentik, bukan dibuat-buat oleh guru Bahasa Indonesia. Guru tidak langsung mengajarkan ejaan dengan langsung membahas ejaan lalu menerapkannya dalam tugas mengarang, tetapi urutan langkahnya adalah sebaliknya.
Pada pembelajaran tradisional, pembelajaran justru lebih sering dilakukan secara bottom-up, artinya siswa diberikan tugas sederhana, lalu dilanjutkan secara bertahap kepada tugas-tugas yang lebih sulit dan komplek. Kelebihan pendekatan top-down adalah, pada pembelajaran itu, siswa diajak berpikir bagaimana cara memecahkan suatu masalah atau tugas dengan lebih aktif.
0 komentar:
Posting Komentar