Minggu, 01 Maret 2009

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigasi, Langkah-Langkah Desain Model dan Implementasi

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigasi, Langkah-Langkah Desain Model dan Implementasi

Muhammad Faiq Dzaki

Desain model pembelajaran kooperatif tipe group investigation sebagai bentuk implementasi model dalam konteks kelas memiliki langkah-langkah:
(a) Informasi subtantif,
(b) analogi langsung, yang disertai dengan kegiatan membandingkan dan menjelaskan berbagai perbedaan,
(c) analogi personal,
(d) eksplorasi; dan
(e) memunculkan analogi baru.

Evaluasi hasil belajar dikembangkan berdasarkan atas tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, yaitu ingin mengetahui tingkat perkembangan kemampuan berpikir kreatif siswa. Oleh karena itu, prosedur dan teknik evaluasinya perlu mengacu dan tak boleh lepas dari aspek-aspek kemampuan berpikir, yaitu kelancaran, keluwesan, orisinalitas, dan elaborasi.

Implementasi model pembelajaran kooperatif tipe group investigation memiliki beberapa tahap.

1. Tahap pertama, sebagai tahap penyajian materi menggunakan strategi atau pendekatan “pembentukan konsep dari Taba”.
2. Tahap kedua, merupakan gabungan dari tahap analogi langsung, perbandingan analogi, dan penjelasan berbagai perbedaan. Tahap ini diawali dengan meminta siswa membuat analogi langsung atas materi yang sedang dibahas. Setelah itu diikuti dengan melakukan pembandingan terhadap analogi-analogi dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kesamaan dan kaitan antara aspek aspek objek yang dibahas. Kegiatan penjelasan perbedaan bertujuan mengembangkan kemampuan siswa dalam memperoleh kejelasan tentang perbedaan-perbedaan yang ada dalam objek yang sedang dibahas. Untuk mencapai tujuan tersebut, guru perlu memberi dorongan dan memfasilitasi siswa untuk kegiatan tersebut.
3. Tahap ketiga, sebagai tahap pengajuan analogi personal siswa diminta mengajukan pengandaian diri seumpama ia (siswa) sebagai sesuatu objek sesuai materi yang sedang dibahas. Karena itu dalam tahap ini, siswa tidak boleh dibatasi kesempatannya untuk berekspresi dan mengemukakan gagasannya. Peran serta aktif guru sebagai fasilitator sangat dibutuhkan.
4. Tahap keempat, disebut sebagai tahap eksplorasi siswa diminta menguraikan atau menjelaskan kembali materi yang sedang dibahas dengan menggunakan bahasanya sendiri. Untuk itu, agar siswa mampu melakukan tugas tersebut maka guru perlu memfasilitasi siswanya dengan teknik curah pendapat dan hasil pekerjaan siswa didiskusikan dengan teman-temannya.
5. Tahap kelima, disebut sebagai tahap pengajuan analogi langsung (yang lainnya) terhadap materi yang sedang dibahas. Siswa diharapkan bisa mengajukan analogi langsung yang telah dikuasainya dan mampu menjelaskan persamaan atau perbedaannya. Di sini, yang dipentingkan adalah argumentasi, mengapa suatu objek tertentu dianalogikan dengan materi yang sedang dibahas.
Baca Selengkapnya

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigasi

Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Group Investigasi

Muhammad Faiq Dzaki


Model pembelajaran kooperatif telah diyakini oleh banyak ahli pendidikan sebagai model pembelajaran yang dapat memberi peluang siswa untuk terlibat dalam diskusi, berpikir kritis, berani dan mau mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri (Gokhale, 1995:6). Meskipun model pembelajaran kooperatif mengutamakan peran aktif siswa bukan berarti guru tidak berpartisipasi, sebab dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai perancang, fasilitaor dan pembimbing proses pembelajaran. Dalam implementasinya, pembelajaran kooperatif tipe group investigasi, setiap kelompok presentasi atas hasil investigasi mereka di depan kelas.Tugas kelompok lain, ketika satu kelompok presentasi di depan kelas adalah melakukan evaluasi sajian kelompok.

Model pembelajaran kooperatif tipe group investigasi dapat dipakai guru untuk mengembangkan kreativitas siswa, baik secara perorangan maupun kelompok. Model pembelajaran kooperatif dirancang untuk membantu terjadinya pembagian tanggung jawab ketika siswa mengikuti pembelajaran dan berorientasi menuju pembentukan manusia sosial (Mafune,2005:4).

Model pembelajaran kooperatif dipandang sebagai proses pembelajaran yang aktif, sebab siswa akan lebih banyak belajar melalui proses pembentukan (contructing) dan penciptaan, kerja dalam kelompok dan berbagi pengetahuan serta tanggung jawab individu tetap merupakan kunci keberhasilan pembelajaran.

Asumsi yang digunakan sebagai acuan dalam pengembangan Model pembelajaran kooperatif tipe group investigasi, yaitu (1) untuk meningkatkan kemampuan kreativitas siswa dapat ditempuh melalui pengembangan proses kreatif menuju suatu kesadaran dan pengembangan alat bantu yang secara eksplisit mendukung kreativitas, (2) komponen emosional lebihpenting daripada intelektual, yang tak rasional lebih penting daripada yang rasional dan (3) untuk meningkatkan peluang keberhasilan dalam memecahkan suatu masalah harus lebih dahulu memahami komponen emosioanl dan irrasional.

Model Pembelajaran Kooperatif Group Investigasi (Langkah-Langkah/Sintaks)
Baca Selengkapnya

Pendekatan Sains Teknologi Society (STS)

Pendekatan Sains Teknologi Society (STS)
Muhammad Faiq Dzaki
Tak dapat disanggah, guru mempunyai peran penting untuk membantu siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Dengan demikian, siswa dapat membuat suatu keputusan yang bertanggung jawab mengenai isu-isu sosial, khususnya isu yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Salah satu cara yang populer untuk memperkenalkan siswa dengan isu-isu sosial itu adalah dengan meminta kepada siswa untuk membawa artikel-artikel tentang sains, teknologi dan penggunaannya dalam masyarakat di dalam kelas sains. Mereka diberi pengarahan dan kesempatan yang cukup, agar dapat meneliti isu-isu itu dengan cara mengumpulkan fakta-fakta, merumuskan pendapat-pendapat mereka dan menarik suatu kesimpulan berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Salah satu pendekatan yang dipandang tepat untuk digunakan dalam suatu pembelajaran IPA adalah pendekatan Sains Teknologi Society (STS) atau Sains Teknologi Masyarakat (STM). Karena pendekatan ini selalu mengaitkan antara sains, teknologi dan penggunaan sains dan teknologi itu dalam masyarakat. Dengan penggunaan pendekatan itu di dalam pembelajaran fisika maka dalam proses pembelajarannya, kita mempunyai konsekuensi bahwa selain kita menanamkan pemahaman siswa terhadap konsep-konsep atau prinsip-prinsip fisika, kita perlu juga menanamkan pemahaman siswa terhadap teknologi yang berkaitan dengan konsep itu, dan kemungkinan penggunaannya di lingkungan masyarakat atau dalam kehidupan sehari-hari.
Guru yang menyajikan materi fisika dengan menggunakan pendekatan Sains Teknologi Society (STS) perlu memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1. deskripsi materi IPA yang akan disajikan
2. diskripsi teknologi yang berkaitan dengan materi IPA
3. penggunaan teknologi itu di dalam masyarakat
4. kemungkinan adanya sikap serta permasalahan yang timbul akibat dari penggunaan teknologi itu di dalam masyarakat.
Deskripsi dari materi itu dapat meliputi antara lain:
1. uraian konsep
2. penggunaan matematika
3. penggunaan rumus
4. penyajian soal dan sebagainya.
Kemudian deskripsi teknologi dapat meliputi:
1. kegunaan teknologi
2. bagan gambar dari produk teknologi itu
3. prinsip kerjanya
4. keterkaitan antara teknologi itu sendiri dengan materi yang disajikan dalam pembelajaran IPA.
Baca Selengkapnya

Pendidikan Anak Usia Dini - Scaffolding

Pendidikan Anak Usia Dini - Scaffolding

Muhammad Faiq Dzaki

Implemetasi scaffolding sebagai bagian dari proses belajar konstruktivisme perlu dikenali dengan baik sehingga tidak perlu berubah menjadi interferensi yang justru akan menghilangkan kesempatan belajar anak untukmenguasai proses pemecahan masalah (problem solving). Vygotsky, 1962, dalam teori belajar konstruktivisme khususnya pada pendidikan anak usia dini telah menggarisbawahi pentingnya scaffolding yang tepat waktu dan dapat ditarik kembali secara bertahap setelah anak menunjukkan keberhasilan terhadap pencapaian suatu indikator dalam aspek perkembangan anak (child development). Anak membutuhkan scaffolding untukmenuju ke tingkat perkembangan potensial (level of potential development).

Scaffolding adalah pengembangan dari teori belajar konstruktivisme modern. Scaffolding pertama kali disebut sebagai istilah dalam dunia pendidikan, khususnya pendidikan anak usia dini oleh Vygotsky pada tahun 1846. Dalam pendidikan anak usia dini, scaffolding mengambil peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran di setiap aspek menuju pencapaian perkembangan anak (child development). Setiap kali seorang anak mencapai tahap perkembangan yang ditandai dengan terpenuhinya indikator dalam aspek tertentu, maka anak membutuhkan scaffolding. Vygotsky (1962) menuliskan bahwa scaffolding merupakan bentuk bantuan yang tepat waktu yang juga harus ditarik tepat waktu ketika interaksi belajar sedang terjadi saat anak-anakmengerjakan puzzle, membangun miniatur bangunan, mencocokkan gambar dan tugas-tugas pelajaran lainnya. Saat interaksi belajar berlangsung, scaffolding kadang dibutuhkan secara bersamaan dan terintegrasi dalam aspek fisik, intelektual, seni dan emosional.

Teori belajar konstruktivisme modern secara umum menyatakan bahwa siswa harus secara pribadi menemukan dan menerapkan informasi yang kompleks kemudian mengecek informasi baru dibandingkan dengan aturan lama dan memperbaiki aturan itu apabila tidak sesuai lagi. Guru tidak dapat hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa, melainkan siswa harus membangun pengetahuan ini di dalam benaknya sendiri. Guru hanya membantu proses ini dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan relevan bagi siswa; sehingga siswa mampu menarik kesimpulan untuk menerapkan sendiri ide-idenya.

Khusus terhadap pendidikan anak usia dini teori konstruktivisme modern oleh Vygotksy dibagi dalam tiga tahap yaitu:
(1) Tahap Zona Perkembangan: atau Zone of Proximal Development (ZPD) yaitu suatu ide bahwa anak usia dini belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona perkembangan terdekat mereka. Artinya, suatu jarak antara keterampilan yang sudah dimiliki oleh anak dengan keterampilan baru yang diperoleh dengan bantuan dari orang dewasa (adult/caregiver/orang tua/guru) atau orang yang terlebih dahulu menguasai keterampilan tersebut (knowledgeable person/peer/siblings). Zone of Proximal Development dihadirkan di tengah lingkungan dengan fitur yang sekaya mungkin sehingga memberikan kesempatan melimpah bagi anak untuk membangun konsep dan internalisasi pemahaman dalam dirinya tentang berbagai hal sehingga anak memperoleh rangsangan yang kuat untuk mempelajari suatu konsep bagi pemahamannya dengan cara terbaik.

(2) Tahap Pemagangan Kognitif atau cognitive apprenticeship adalah suatu istilah untuk proses pembelajaran di mana guru menyediakan dukungan kepada anak usia dini dalam bentuk scaffold hingga anak usia dini berhasil membentuk pemahaman kognitifnya. Pemagangan kognitif atau cognitive apprenticeship juga merupakan suatu budaya belajar dari dan di antara teman sebaya melalui interaksi satu sama lain sehingga membentuk suatu konsep tentang sesuatu pengalaman umum dan kemudian membagikan pengalaman membentuk konsep tersebut di antara teman sebayanya (Collins, Brown, and Newman1989). Wilson and Cole (1994) mendeskripsikan ciri khas pemagangan kognitif yaitu “ heuristic content, situated learning, pemodelan, coaching, articulation, refleksi, eksplorasi, dan ”order in increasing complexity”.

(3) Scaffolding atau mediated learning yaitu dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah sebagai suatu hal yang penting dalam pemikiran konstruktivis memodern. Scaffolding is adjusting the support offered during a teaching session to fit the child’s current level of performance ” .Scaffolding sebagian besar ditemukan dilakukan oleh orang dewasa (adult/care giver/parent/teacher) atau orangyang lebih dahulu tahu (knowledgeable person/siblings/peer) tentang suatu keterampilan yang seharusnya dicapai oleh anak usia dini.
Baca Selengkapnya

Syarat-Syarat Penelitian yang Baik

Syarat-Syarat Penelitian yang Baik


Muhammad Faiq Dzaki

Seiap penelitian harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah:

Metode yang Digunakan Mengacu pada Hasil yang Objektif

Sebuah penelitian harus mengikuti metode yang ketat, “rigorous”, yang secara berdisiplin berpegang teguh pada aturan-aturan tertentu agar mencapai hasil yang objektif. Bila dalam pelaksanaan penelitian si peneliti melenceng dari metode yang telah dirancangnya dengan baik, maka seringkali objektivitas hasil penelitiannya akan dipertanyakan, atau patut dipertanyakan. Penelitian yang baik berpegang teguh pada nilai kejujuran dan memperkecil kemungkinan terjadinya bias antara kondisi nyata dengan data dan kesimpulan yang diperoleh dalam penelitian.

Data dan Penafsirannya Valid

Dalam pelaksanaan penelitian seorang peneliti harus sedapat mungkin membatasi kekeliruan atau kesalahan dalam data yang dikumpulkan maupun dalam penafsirannya.Banyak usaha yang dapat dilakukan seorang peneliti untuk hal ini. Misalnya untuk memperoleh data yang valid, peneliti harus merancang dan menggunakan instrumen penggali data yang baik. Jangan sampai data yang diperoleh tidak bersesuaian dengan kenyataan hanya karena kesalahan alat ukur atau penggali data. Peneliti juga harus mengupayakan teknik-teknik analisis data yang sesuai dengan data dan tujuan penelitiannya sehingga hasil penafsirannya dapat memiliki nilai kebenaran dan kemanfaatan.

Publikasi Ilmiah 

Setiap penelitian selesai dilakukan dan laporan telah ditulis dengan baik, maka kelanjutan prosesnya adalah publikasi ilmiah dapat dilakukan dengan berbagai cara. Satu tujuan penting dari publikasi ini adalah agar laporan yang dihasilkan mendapat kesempatan untuk mendapatkan kritik dari semua pihak, pembantahan, ditolak, diterima, atau penerimaan dukungan.

Demikian tulisan tentang syarat-syarat penelitian yang baik di blog penelitian tindakan kelas dan model pembelajaran ini. Semoga bermanfaat.

Beberapa artikel tentang penelitian tindakan kelas lainnya:

Baca Selengkapnya

Pengaruh Scaffolding – Dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Pengaruh Scaffolding – Dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Muhammad Faiq Dzaki

Teori Kontruktivisme oleh Vygotsky, terkait scaffolding memberikan pengaruh besar pada pendidikan anak usia dini:
1. desain kurikulum
2. instruksi pembelajaran
3. proses asesmen/penilaian

Karena anak belajar banyak melalui interaksi, maka desain kurikulum harus menempatkan mereka untuk mengalami banyak interaksi dengan anak lainnya dan tugas belajar bersama. Bentuk kegiatan belajar mengajar yang bisa dilakukan di antaranya:
1. konsep pembelajar mandiri (learner autonomy)
2. belajar kelompok (cooperative learning).

Lingkungan belajar anak menjadi zona perkembangan terdekat (Zone of Proximal Development/ZPD) yang menghadirkan sebanyak mungkin kesempatan untuk mempelajari sesuatu, baik itu melalui orang-orang di sekitar anak maupun alat pelajaran dan sumber belajar. Guru hanya sebagai mediator, selanjutnya siswa/anak usia dini secara sendiri atau kelompok aktif untuk memecahkan persoalan yang diberikan guru sehingga mereka dapat membangun pengetahuan.

Instruksi pembelajaran yang tepat dari orang dewasa dapat membuat anak menunjukkan keberhasilan terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan sendiri. Disini orang dewasa secara terus-menerus mengevaluasi level bantuan yang diberikan kepada anak dengan mempertimbangkan tingkat kemajuan hasil belajar anak, sehingga dapat terbentuk mengajar-belajar yang efektif. Dengan memberikan “takaran”scaffolding yang tepat,hasil belajar anak akan segera terlihat bahkan anak memperoleh keterampilan-keterampilan yang menetap yang dibutuhkan dalam penyelesaian masalah kelak.

Proses assessment/penilaian juga berpengaruh yaitu dengan melihat zona perkembangan terdekat (Zone of Proximal Development/ZPD). Bila anak dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan ini disebut tingkat perkembangan riil (level of actual development), sementara bila anak dapat melakukan sesuatu dengan bantuan maka hal ini disebut tingkat perkembangan yang potensial (level of potential development). Dua orang anak dapat saja memiliki tingkat perkembangan riil yang sama; tetapi dengan bantuan yang tepat dari orang dewasa, anak yang satu dapat melakukan penyelesaian terhadap masalah yang lebih rumit dan lebih baik daripada yang lainnya. Metode penilaian harus dapat menangkap kedua tingkat perkembangan yang dimiliki tiap anak; yaitu tingkat perkembangaan riil dan tingkat perkembangan potensial. Instruksi pembelajaran yang tepat dari orang dewasa/guru dapat membuat anak menunjukkan keberhasilan terhadap tugas yang belum mampu diselesaikan sendiri.

Akhirnya, pada pendidikan anak usia dini terjadi pergeseran dari “teacher centered”menjadi “student centered”yang mewujud dalam pemberian scaffold tepat waktu ketika dibutuhkan oleh anak; juga tepat waktu untuk ditarik kembali. Dengan demikian prinsip-prinsip konstruktivisme yang banyak diambil antara lain:
(1) Pengetahuan dibangun oleh anak usia dini secara aktif;
(2) Tekanan proses belajar mengajar terletak pada anak usia dini;
(3) Mengajar adalah membantu anak usia dini belajar;
(4) Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan pada hasil belajar;
(5) Kurikulum menekankan pada partisipasi anak usia dini;
(6) Guru adalah fasilitator.
Baca Selengkapnya

Scaffolding – Contoh Implementasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

Scaffolding – Contoh Implementasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

Muhammad Faiq Dzaki

Tahap perkembangan anak usia dini terbagi dalam beberapa aspek yang berintegrasi satu dengan yang lain; yaitu:
1. aspek fisik
2. intelektual
3. seni
4. emosional

Setiap anak usia dini memiliki ciri perkembangan berdasarkan usia. Pencapaian tahap perkembangan aspek fisik pada anak usia 2 tahun berbeda dengan tahap perkembangan fisik anak usia 3 tahun. Ahli-ahli pendidikan anak usia dini telah melakukan pengamatan dan mencatat tahap-tahap perkembangan anak setiap aspek berdasarkan usia. Tahap-tahap perkembangan anak usia dini (Child Development) menjadi dasar untuk melihat keberhasilan dan kemajuan perkembangan anak. Aspek-aspek perkembangan anak merupakan satu bagian yang terintegrasi satu dengan yang lain. Karena itu bentuk scaffolding di dalam suatu saat dapat saja terintegrasi namun terdapat juga saat di mana scaffolding hanya dibutuhkan oleh aspek tertentu.

Contoh implementasi scaffolding dalam pendidikan anak usia dini penulis ambil dari salah satu daily plan kurikulum play group bilingual. Tema belajar adalah “My Vegetables”dengan sub tema “Cauliflower”. Desain tema dalam kurikulum seperti ini membuka banyak peluang terjadinya interaksi belajar; anak belajar mengenal sayur-sayuran; sesuatu hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pada aspek keterampilan motorik halus, anak melatih kelenturan otot jari tangan dengan memetik kuntum bunga kol.Sementara setiap anak memegang bunga kol,guru mencontohkan cara memetik kuntum bunga kol di hadapan mereka (zona perkembangan terdekat/zone of proximal development). Timbul dalam benak anak, bahwa memetik kuntum bunga kol adalah sesuatu pekerjaan dapat dilakukannya sendiri. Anak mengamati bentuk bunga kol yang ada ditangannya (menjadi pembelajar mandiri/learner autonomy); dan memperhatikan cara guru atau teman lainnya memetik kuntum bunga kol (menjadi pembelajar kelompok/cooperative learning).

Dalam hal memetik kuntum bunga kol, pemagangan kognitif tampil dengan ciri khasnya yaitu pemodelan oleh guru, penekanan; yaitu tekanan proses belajar pada latihan keterampilan otot jari, eksplorasi; yaitu mengenai manfaat, habitat dan pengolahan sayur bunga kol dan petunjuk yang meningkat kompleksitasnya; yaitu mulai dari mengenggam, memetik, mengelompokkan, dan menghitung kuntum bunga kol. Instruksi pelajaran; yang menuntun anak melakukan sesuatu dengan perintah yang jelas - meminta anak memetik kuntum bunga kol yang ada di gengaman tangannya sampai selesai; dapat menumbuhkan ketekunan dalam diri anak untuk mencapai keberhasilan (aspek emosional).Guru melakukan proses penilaian/assessment dengan sebelumnya sudah mengetahui level of actual development; yaitu belum tentu semua anak telah dapat memetik kuntum bunga kol (menurut Table Child Development).

Sedangkan level of potential development yang akan diobservasi adalah anak mampu memetik kuntum bunga kol paling sedikit 8 kuntum.Dalam 5 – 10 menit pertama, dapat diprediksi bahwa anak akan mengalami kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa memetik kuntum bunga kol. Di saat ini, guru perlu menahan diri dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengalami kesulitan; guru perlu tahu saat yang tepat untuk memberikan bantuan. Hindari bentuk-bentuk interferensi yang berpotensi menggangu proses belajar anak. Anak akan menyerukan permintaan bantuan. Di sinilah, guru menerapkan scaffolding; yaitu berupa memegang jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk memetik kuntum bunga kol bersama. Setelah itu,berilah kesempatan anak untuk kembali mencoba sendiri; tariklah scaffolding secara bertahap. Setelah paling sedikit 8 kuntum bungakol berhasil dipetik oleh jari tangan anak sendiri,maka anak telah mencapai level of potential development. Kadang kala sangat menarik dan lucu, saat terjadi anak berusaha menolong teman untuk memetik kuntum bunga kol; membagikan keterampilan yang baru saja dikuasainya; yang sebetulnya merupakan suatu bentuk internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam dirinya. Kejadian seperti ini dapat menjadi sumber tulisan narasi yang kreatif untuk dicatatkan dalam laporan perkembangan anak.

Implementasi scaffolding lainnya juga terlihat dalam contoh lebih sederhana sebagai berikut: seorang anak perempuan yang berumur 2,5 tahun dengan gembira memilih dan berusaha mengenakan sendiri baju yang akan dipakainya dan tidak mengijinkan ibunya membantu. Pada usia 2,5 tahun menurut tabel Perkembangan Anak (Child Development); tingkat erkembangan riil (level of actual development) pada aspek intelektual antara lain adalah anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi; dan pada aspek fisik sedang ingin mencoba melenturkan otot jemari tangannya. Anak belum dapat mengenakan baju sendiri, tetapi membutuhkan bantuan; berarti anak berada pada tingkat perkembangan potensial (level of potential development).

Pada waktu ini potret pembelajaran konstruktivisme sedang berlangsung; yaitu pengetahuan dibangun sendiri oleh anak secara aktif; tekanan proses belajar adalah pada anak dan bukan pada hasil belajar. Saat sang ibu mengamati anak sedang berusaha dengansungguh-sungguh mengenakan baju, timbul keinginan yang sangat besar untuk segera membantu; tetapi anak belum merasa perlu adanya scaffolds. Bila scaffolds tidak tepat waktu, akan terjadi interferensi; anak tidak merasakan keberhasilan pencapaian suatu indikator; bantuan ibu akan menyelesaikan semua proses mengenakan baju. Beberapa saat kemudian anak menyerukan perlunya bantuan; ini menunjukkan aspek emosi yang sesuai yaitu anak segera mencari pertolongan untuk mendapatkan bantuan. Saat anak telah membuka diri terhadap bantuan, scaffolding dibutuhkan. Ibu berperan Sebagai fasilitator; mencontohkan cara mengancing satu mata kancing baju. Pada waktu ini, ibu berbicara mengenai cara mengancing baju dan akan menjadi kosa kata baru bagi anak (aspek bahasa).Komunikasi dan penggunaan bahasa menjadi suatu media yang baik untuk melancarkan internalisasi konsep ke dalam diri anak. Anak mengendapkan konsep itu ke dalam pikirannya; biasanya muncul dalam bentuk self talk (berbicara sendiri) anak kepada dirinya. Setelah mendapatkan scaffolds, anak akan mencoba lagi mengenakan bajunya. Disini, bentuk scaffolding telah cukup dan perlu dihentikan secara bertahap. Anak telah menguasai keterampilan mengenakan baju lebih baik dari sebelumnya. Anak merasakan keberhasilan mencapai suatu indikator. Dari dua contoh sederhana di atas dapatlah disepakati bahwa suatu pemberian scaffoldingyang efektif adalah tepat waktu dan setelah itu ditarik kembali secara bertahap setelah ditandai dengan diperolehnya keterampilan baru Yang lebih baik dari sebelumnya yang berhasil dilakukan sendiri oleh anak pada tingkat perkembangan potensialnya. Dengan demikian, penilaian terhadap anak mencakup tingkat perkembangan riil; yaitu ketika anak mendemonstrasikan suatu keterampilan tanpa bantuan; sampai dengan tingkat perkembangan potensial (level of potential development). Bentuk assessment dapat berupa laporan narasi yang menyebutkan perbandingan dan bentuk keberhasilan kedua level perkembangan tersebut.

Implementasi scaffolding dapat dengan mudah kita temukan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari anak usia dini. Faktor-faktor yangsederhana namun penting untuk diingat dalam implementasi scaffolding adalah bahwa pertama, kebutuhan terhadap scaffloding datang dari inisiatif anak; karena kalau bukan datang dari anak, scaffolding akan berubah menjadi suatu interferensi terhadap proses belajar anak. Suatu interferensi terhadap proses belajar anak disadari atau tidak akan menyemaikan sifat ketergantungan yang akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan.Yang kedua, scaffolding sesuai dengan pesan pendidikan Vygotsky adalah menyediakan lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas yang berada dalam zona perkembangan terdekat anak dan kesempatan yang melimpah untuk bermain peran. Situasi belajar yang baik akan mereduksi peran guru (teacher centered) dan meningkatkan kemandirian belajar anak (student centered); sedemikian hingga muncul suasana yang merangsang tumbuhnya sifat pembelajaran dengan disiplin diri tinggi untuk tingkat pendidikan yang lebih lanjut kelak.
Baca Selengkapnya