Konteks Acuan Dan Partisipan Disfemisme Pada Ujaran Siswa SMP Negeri 3 Ungaran
Oleh:Susilo Utami, Markhamah, dan Atiqa Sabardila
Magister Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura, Surakarta
Sumber Jurnal:
Jurnal Penelitian: Humaniora Volume 11 Tahun 2010 halaman 1 - 17, Universitas Muhammadiyah Surakarta.Abstrak
Penelitian ini berkenaan dengan konteks, acuan, dan partisipan disfemisme. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan konteks munculnya disfemisme, acuan disfemisme, dan partisipan disfemisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa SMP Negeri 3 Ungaran Semarang. Data penelitian berupa korpus atau cuplikan ujaran yang mengandung disfemisme yang diujarkan para siswa. Data digali dari sumber data primer dan sekunder. Validasi data dilakukan dengan metode triangulasi data. Data dikumpulkan melalui observasi/pengamatan, rekam/catat data, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) konteks munculnya disfemisme antara lain karena marah, mengejek, meminta, berkomentar dan menggerutu, membalas, bercanda, bertanya, kebiasaan, terkejut, geli, menggoda, mengingatkan, menjawab panggilan, merespon pertanyaan, tidak percaya, iseng, kesakitan, melihat orang lain cemberut, memberi, menanggapi kritikan, mengulangi permintaan, menuduh, menyalahkan, menyatakan kekecewaan, terpojok, tersinggung, tidak mau menerima peringatan, dan tidak sependapat; (2) disfemisme yang digunakan mengacu pada binatang, profesi, sifat, anggota tubuh, sapaan, bau, dan rasa; dan (3) partisipan disfemisme dari dua macam yaitu partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif.Kata Kunci: konteks, disfemisme, partisipan, dan acuan.
Sebagian isi makalah:
........... Disfemisme dalam salah satu literatur yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia adalah salah satu jenis gaya bahasa atau majas. Kata disfemisme berasal dari kata eufimisme yang memperoleh imbuhan dis yang berarti ’tidak’. Eufimisme berasal dari bahasa Yunani euphimismos. Eu berarti ’baik’, pheme berarti ’perkataan’, dan ismos berarti ’tindakan’. Secara keseluruhan eufimisme adalah menggantikan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008: 66).Dengan memperhatikan asal-usul kata eufimisme tersebut, disfemisme dapat diartikan sebagai antonim (lawan makna) dari eufimisme. Pada halaman yang sama dikatakan bahwa disfemisme adalah pengungkapan penyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008: 66). Definisi yang sama dapat dilihat pada karya Binar Agni (2008: 110).
Pengertian disfemisme selain diperoleh dari dua sumber tersebut dapat dilihat dari tiga jurnal ilmiah berikut. Mangiang (2003: 4) dalam makalahnya mendefinisikan bahwa disfemisme adalah pengerasan makna kata atau membuat makna kata menjadi kasar. Adapun menurut Imawan (2007: 3) disfemisme bukan hanya berupa kata, tetapi telah meluas berupa frasa, klausa, atau kalimat. Ia mencontohkan penjarah intelektual, preman politik, dan politisi karbitan. Lebih luas dari dua pengertian tersebut Prudjung (2008: 1) menyatakan bahwa disfemisme adalah pemakaian pengasaran bahasa. Menurut penulis, pengertian ini mencakup pengertian yang lebih luas dari pada dua pengertian sebelumnya yaitu mencakup wacana atau teks.
Dari pengertian tentang disfemisme pada bagian terdahulu dikatakan bahwa disfemisme adalah mengungkapkan pernyataan tabu atau dirasa kurang pantas. Oleh karena itu, untuk menentukan sebuah kata tabu atau tidak tabu akan dibahas tentang tabu tersebut. Tabu atau taboo secara etimologis berasal dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook. Kata tabu, secara umum, mempunyai pengertian sesuatu yang dilarang (Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi, 2006: 110). Sumarsono dan Paina Partana mengatakan bahwa pengertian tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh-roh gaib, tetapi berkaitan dengan sopan-santun dan tatakrama pergaulan sosial. Orang yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindari kata-kata tabu (2002: 107).
Kata-kata tabu ini muncul karena berbagai sebab yang melatarbelakanginya. Wijana dan Muhammad Rohmadi (2006: 111) menjelaskan adanya tiga hal penyebab sebuah kata dikatakan tabu. Ketiga hal tersebut adalah adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan (taboo of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas (taboo of propriety).
Setiap bahasa mempunyai cara tersendiri untuk menyatakan suatu kata termasuk kategori tabu atau tidak tabu. Ketabuan tersebut dipengaruhi budaya daerah setempat. Contoh-contoh berdasarkan tiga kategori tersebut sebagai berikut. Contoh kata yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang menakutkan misalnya dalam bahasa Jawa macan (harimau) dan pocong (salah satu jenis hantu). Orang Jawa menganggap pantang atau tabu mengucapkan kata macan dan pocong pada malam hari. Sebagai pengganti kedua kata itu digunakan kata kyai untuk ........................baca selengkapnya makalah ini sebagaimana sumber aslinya di sini.