Sabtu, 12 Mei 2012

Laporan Penelitian Deskriptif Kualitatif : Bahasa Indonesia SMP

Konteks Acuan Dan Partisipan Disfemisme Pada Ujaran Siswa SMP Negeri 3 Ungaran

Oleh:
Susilo Utami, Markhamah, dan Atiqa Sabardila

Magister Pendidikan Bahasa
Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura, Surakarta

Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian: Humaniora Volume 11 Tahun 2010 halaman 1 - 17, Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Abstrak

Penelitian ini berkenaan dengan konteks, acuan, dan partisipan disfemisme. Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan konteks munculnya disfemisme, acuan disfemisme, dan partisipan disfemisme. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah siswa SMP Negeri 3 Ungaran Semarang. Data penelitian berupa korpus atau cuplikan ujaran yang mengandung disfemisme yang diujarkan para siswa. Data digali dari sumber data primer dan sekunder. Validasi data dilakukan dengan metode triangulasi data. Data dikumpulkan melalui observasi/pengamatan, rekam/catat data, dan wawancara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis interaktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa: (1) konteks munculnya disfemisme antara lain karena marah, mengejek, meminta, berkomentar dan menggerutu, membalas, bercanda, bertanya, kebiasaan, terkejut, geli, menggoda, mengingatkan, menjawab panggilan, merespon pertanyaan, tidak percaya, iseng, kesakitan, melihat orang lain cemberut, memberi, menanggapi kritikan, mengulangi permintaan, menuduh, menyalahkan, menyatakan kekecewaan, terpojok, tersinggung, tidak mau menerima peringatan, dan tidak sependapat; (2) disfemisme yang digunakan mengacu pada binatang, profesi, sifat, anggota tubuh, sapaan, bau, dan rasa; dan (3) partisipan disfemisme dari dua macam yaitu partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif.

Kata Kunci: konteks, disfemisme, partisipan, dan acuan.

Sebagian isi makalah:

........... Disfemisme dalam salah satu literatur yang dikeluarkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia adalah salah satu jenis gaya bahasa atau majas. Kata disfemisme berasal dari kata eufimisme yang memperoleh imbuhan dis yang berarti ’tidak’. Eufimisme berasal dari bahasa Yunani euphimismos. Eu berarti ’baik’, pheme berarti ’perkataan’, dan ismos berarti ’tindakan’. Secara keseluruhan eufimisme adalah menggantikan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008: 66).

Dengan memperhatikan asal-usul kata eufimisme tersebut, disfemisme dapat diartikan sebagai antonim (lawan makna) dari eufimisme. Pada halaman yang sama dikatakan bahwa disfemisme adalah pengungkapan penyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008: 66). Definisi yang sama dapat dilihat pada karya Binar Agni (2008: 110).

Pengertian disfemisme selain diperoleh dari dua sumber tersebut dapat dilihat dari tiga jurnal ilmiah berikut. Mangiang (2003: 4) dalam makalahnya mendefinisikan bahwa disfemisme adalah pengerasan makna kata atau membuat makna kata menjadi kasar. Adapun menurut Imawan (2007: 3) disfemisme bukan hanya berupa kata, tetapi telah meluas berupa frasa, klausa, atau kalimat. Ia mencontohkan penjarah intelektual, preman politik, dan politisi karbitan. Lebih luas dari dua pengertian tersebut Prudjung (2008: 1) menyatakan bahwa disfemisme adalah pemakaian pengasaran bahasa. Menurut penulis, pengertian ini mencakup pengertian yang lebih luas dari pada dua pengertian sebelumnya yaitu mencakup wacana atau teks.

Dari pengertian tentang disfemisme pada bagian terdahulu dikatakan bahwa disfemisme adalah mengungkapkan pernyataan tabu atau dirasa kurang pantas. Oleh karena itu, untuk menentukan sebuah kata tabu atau tidak tabu akan dibahas tentang tabu tersebut. Tabu atau taboo secara etimologis berasal dari bahasa Polynesia yang diperkenalkan oleh Captain James Cook. Kata tabu, secara umum, mempunyai pengertian sesuatu yang dilarang (Wijana, I Dewa Putu dan Muhammad Rohmadi, 2006: 110). Sumarsono dan Paina Partana mengatakan bahwa pengertian tabu tidak hanya menyangkut ketakutan terhadap roh-roh gaib, tetapi berkaitan dengan sopan-santun dan tatakrama pergaulan sosial. Orang yang tidak ingin dianggap tidak sopan akan menghindari kata-kata tabu (2002: 107).

Kata-kata tabu ini muncul karena berbagai sebab yang melatarbelakanginya. Wijana dan Muhammad Rohmadi (2006: 111) menjelaskan adanya tiga hal penyebab sebuah kata dikatakan tabu. Ketiga hal tersebut adalah adanya sesuatu yang menakutkan (taboo of fear), sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan (taboo of delicacy), dan sesuatu yang tidak santun dan tidak pantas (taboo of propriety).

Setiap bahasa mempunyai cara tersendiri untuk menyatakan suatu kata termasuk kategori tabu atau tidak tabu. Ketabuan tersebut dipengaruhi budaya daerah setempat. Contoh-contoh berdasarkan tiga kategori tersebut sebagai berikut. Contoh kata yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang menakutkan misalnya dalam bahasa Jawa macan (harimau) dan pocong (salah satu jenis hantu). Orang Jawa menganggap pantang atau tabu mengucapkan kata macan dan pocong pada malam hari. Sebagai pengganti kedua kata itu digunakan kata kyai untuk ........................baca selengkapnya makalah ini sebagaimana sumber aslinya di sini.
Baca Selengkapnya

Jumat, 11 Mei 2012

Laporan Penelitian Kualitatif Deskriptif Bahasa Indonesia di SMA Kelas X

Pembelajaran Sastra Di Kelas X Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional SMA Negeri 8 Yogyakarta

Oleh:
Rahmah Purwahida, Suminto A. Sayuti, dan Esti Swastika Sari

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani, Tromol Pos 1 Pabelan, Kartasura, Surakarta

SumberJurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Humaniora Volume 11 Th. 2010
http://lppm.ums.ac.id/index.php/jurnal-ilmiah/123-jurnal-penelitian-humaniora

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses pembelajaran sastra di kelas X RSBI Tahun Ajaran 2007/2008 SMA Negeri 8 Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian, yaitu seorang guru pengampu sastra dan para siswa di kelas X-RSBI Tahun Ajaran 2007/2008 SMA Negeri 8 Yogyakarta yang berjumlah 19 orang. Teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembelajaran sastra telah berjalan optimal, dengan indikator siswa telah menguasai kemampuan bersastra, yaitu mengapresiasi sastra dan mengekspresikan dalam bentuk penulisan puisi dan cerpen. Keberhasilan pembelajaran sastra ditandai dengan meningkatnya minat membaca siswa kelas X-RSBI, gemarnya siswa browsing artikel-artikel sastra maupun bahan bacaan non-sastra dari website, dan siswa pun membukukan puisi karyanya dalam bentuk antologi puisi. Keberhasilan pembelajaran sastra juga disebabkan guru kelas X-RSBI memiliki keunikan, yaitu mendukung siswa dalam menyalurkan kreativitas dan ekspresi siswa dalam kegiatan-kegiatan sastra baik di dalam maupun di luar jam pembelajaran sekolah misalnya, pentas teater, lomba-lomba membaca puisi, dan penulisan cerpen.

Kata Kunci: pembelajaran sastra, dan rintisan sekolah bertaraf internasional.

Pendahuluan

Peranan sastra sebagai penyeimbang unsur hakiki manusia menjadikan pembelajaran sastra penting diberikan dalam proses pendidikan sebab bacaan sastra memberi masukan suatu nilai kecakapan hidup pada siswa (Lubis dan Ecky Supriyanto, 1999: 75). Melalui pembelajaran sastra, siswa diharapkan dapat memetik pengalaman hidup yang dipaparkan pengarang dalam wacana sastra karena pada dasarnya sastra merupakan hasil perenungan terhadap nilai-nilai kehidupan.

Ismail (2006: 3) mengungkapkan pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA) sampai saat ini belum berjalan secara optimal dan perlu ditingkatkan kualitasnya. Indikator utama yang memperkuat sinyalemen itu adalah masih rendahnya apresiasi dan minat baca rata-rata siswa dan lulusan SMA terhadap karya sastra (Republika, 22/4/2008). Keberhasilan pembelajaran apresiasi sastra di setiap jenjang pendidikan sampai saat ini masih bersifat teoretis dan verbalitas (Ginanjar, 2007: 1). Masih banyak guru sastra menjejali para siswanya dengan teori-teori sastra. Akibatnya adalah pembelajaran sastra menjadi suatu kegiatan belajar-mengajar yang membosankan.

Keberadaan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang memiliki kelas-kelas khusus menuju taraf internasional memberi warna baru sekaligus harapan baru dalam perbaikan pembelajaran sastra sebab RSBI memiliki tujuan institusional menyiapkan peserta didik berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia yang tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Tujuan pendidikan institusional ini diwujudkan dalam kurikulum yang akan menentukan tujuan instruksional di SBI (Depdiknas, 2008: 15).

Selama ini pembelajaran sastra yang banyak diteliti yaitu pembelajaran sastra di Sekolah Menengah Atas (SMA) yang belum menyelenggarakan rintisan SBI, padahal proses pembelajaran di SMA rintisan SBI sebagai terobosan baru dalam meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia perlu diteliti guna mendorong perkembangan pembelajaran sastra di sekolah-sekolah yang sedang merintis menjadi SBI. Minimnya perhatian terhadap proses pembelajaran sastra di SMA yang RSBI dalam bentuk penelitian, sedangkan di sisi lain terdapat kebutuhan dan keingintahuan para guru sastra dan praktisi pendidikan untuk mengetahui gambaran proses pembelajaran sastra yang baik terutama di SMA yang RSBI menjadikan penelitian mengenai hal ini mendesak untuk dilakukan. Berdasarkan data Dinas Pendidikan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2008, SMA Negeri 8 Yogyakarta termasuk Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Penyelenggaraan kelas Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional di sekolah ini dimulai pada Tahun Ajaran 2007/2008 dengan adanya satu kelas X.

........................baca selengkapnya makalah ini sebagaimana sumber aslinya di sini.
Baca Selengkapnya

Laporan Penelitian Eksperimen Pretest-Postest Design Bidang Konseling SMP

Efektifitas Konseling Rasional Emotif Dengan Teknik Relaksasi untuk Membantu Siswa Mengatasi Kecemasan Menghadapi Ujian


Oleh:
Esty Rokhyani
(Konselor pada SMPN 5 Nganjuk)

Sumber Jurnal:

Jurnal Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Universitas Negeri Surabaya
Volume 10 no 2 Desember 2009

Abstrak

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa SMPN 5 Nganjuk yang mengalami kecemasan menghadapi ujian atau tes. Kecemasan dapat menggangu kinerja akademis dan penampilan siswa dalam menghadapi ujian. Penelitian ini bertujuan mengetahui keefektifan pelaksanaan konseling rasional emotif dengan teknik relaksasi dalam membantu siswa mengatasi kecemasan menghadapi ujian atau tes.  Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian eksperimen dengan model Pretest-Posttest Control Group Design. Subyek penelitian, siswa kelas VII dan VIII SMPN 5 Nganjuk yang mengalami kecemasan menghadapi ujian atau tes kategori tinggi. Subyek secara random dibagi 2 kelompok yaitu satu kelompok eksperimen (n=12) dan satu kelompok kontrol (n=12). Untuk mengukur kategori kecemasan menghadapi ujian atau tes digunakan inventori kecemasan menghadapi ujian atau tes. Eksperimen dilakukan oleh peneliti sendiri selama 10 kali pertemuan, tiap pertemuan 60 – 90 menit. Perlakuan yang diberikan mengikuti aturan yang diadaptasi dari konseling rasional emotif Ellis (1977) dan Cormier (1985).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa konseling rasional emotif dengan teknik relaksasi efektif membantu siswa mengatasi kecemasan menghadapi ujian atau tes dari kategori tinggi menjadi kategori sedang bawah. Serta terbukti pula menurunkan skor kecemasan menghadapi ujian atau tes pada subyek kelompok eksperimen secara signifikan.

Kata kunci : Konseling Rasional Emotif, Teknik Relaksasi, Kecemasan, Ujian/Tes


Kecemasan atau anxiety merupakan salah satu bentuk emosi individu yang berkenaan dengan adanya rasa terancam oleh sesuatu, biasanya dengan objek ancaman yang tidak begitu jelas. Kecemasan merupakan suatu keadaan emosi yang tidak menyenangkan yang ditandai dengan perasaan tegang secara subjektif, keprihatinan, dan kekhawatiran disertai dengan getaran susunan syaraf otonom dengan derajat yang berbeda-beda (Atkinson dkk, 2008: 349).

Sedangkan May seperti dikutip oleh Jess and Gregory J. Feist, ( 2008:304 ) menggambarkan kecemasan sebagai kondisi subyektif individu yang semakin menyadari bahwa adanya ancaman bagi eksistensi dirinya . Lebih lanjut ia menjelaskan dengan mengutip perkatan dari Kierkegaard yaitu : kecemasan seperti rasa pening, bisa menyenangkan atau menyakitkan, konstruktif atau destruktif kecemasan dapat memberikan individu energi dan semangat namun juga bisa melumpuhkan (Jess and Gregory J. Feist, 2008:304-305).

Kecemasan tidak hanya dialami oleh orang dewasa saja tetapi juga dapat dialami oleh anak ataupun remaja yang masih duduk di bangku sekolah. Bagi siswa kecemasan merupakan gangguan emosi yang dapat menghambat proses belajar di sekolah, menurut Bernstein dalam kutipan Dewi. I ( 2008:2), siswa yang mengalami kecemasan berisiko mengalami underachievement di sekolah yakni ditunjukan dengan tidak adanya motivasi berprestasi dan merasa tidak berharga. Selanjutnya menurut Sieber e.al.) kecemasan dianggap sebagai salah satu faktor penghambat dalam belajar yang dapat mengganggu kinerja fungsi-fungsi kognitif seseorang, seperti dalam berkonsentrasi, mengingat, pembentukan konsep dan pemecahan masalah (Sudrajat.A,2008 : 2-3)

....................Baca selengkapnya makalah laporan penelitian ini di sini.
Baca Selengkapnya

Senin, 07 Mei 2012

Penelitian Eksperimental : Kecerdasan Emosi dan Character Building

Character Building : Pengaruh Pendidikan Nilai Terhadap Kecerdasan Emosi Anak


Oleh:
Eny Purwandari dan Purwati

Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jalan A. Yani Tromol Pos I Surakarta 57102

Sumber Jurnal:

Jurnal Penelitian Humaniora, Volume 9 No. 1Februari 2008, hal 13 - 31, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
http://lppm.ums.ac.id

Sebagian isi jurnal:


Fenomena di sekitar kita dapat disaksikan, banyak anak yang menjadi subjek maupun objek kekerasan, masalah-masalah sosial dan berkurangnya sikap saling menghargai antarmanusia dan terhadap lingkungan sekitar. Pendidik dan orang tua ingin mengubah kondisi yang memprihatinkan ini dengan pendidikan nilai. Kemorosotan akhlak dan moral perlu segera mendapat penanganan yang serius, baik oleh orang tua, guru, maupun lembaga pendidikan yang ikut bertanggung jawab memberi pendidikan dengan proses dan model pembelajaran yang ditawarkan. Salah satu alternatif yang dapat ditawarkan adalah pendidikan nilai dengan metode character building.

Anak yang mendapat kesempatan untuk berkembang dalam lingkungan yang kaya variasi akan menjadi anak yang tanggap dan selalu siap dengan alternatif lain yang diamati dri lingkungannya, sehingga membantu anak untuk mengoptimalkan perkembangan fisik dan mentalnya, serta memenuhi kebutuhan kognisi, afeksi, dan psikomotorik. Anak yang dibesarkan pada suasana dan sikap yang monoton sulit diharapkan untuk mampu tanggap dan siap dengan pilihan-pilihan dan cara-cara lain untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, kecerdasan emosi anak perlu mendapat perhatian serius untuk membentuk generasi yang berkualitas. Kecerdasan emosi dapat diasah, diolah, dan dibentuk dengan pendidikan nilai. Pendidikan nilai yang akan dikemas dalam bentuk character building dapat meningkatkan kecerdasan emosi anak. Pendidikan nilai disajikan pada anak dengan suasana yang tidak monoton, sesuai dengan tahap perkembangan dan karakteristik anak.

Kecerdasan emosi merupakan suatu konsep baru yang sampai saat ini belum ada definisi yang baku yang menerangkan. Telaah mengenai arti kecerdasan emosional biasanya terkait dengan kemampuan seseorang dalam menggunakan aspek pikiran dan emosi untuk memecahkan berbagai masalah dalam kehidupannya (Secapramana, 1999).

Salovey dan Mayer (dalam Skapiro, 1988) sebagai pencetus istilah kecerdasan emosional mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional merupakan himpunan bagian dari keterampilan sosial yang melibatkan kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan dan emosi, baik pada diri sendiri maupun orang lain, memilahmilah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.

Salovey dan Mayer (1990) menerangkan bahwa kualitas-kualitas emosional yang penting bagi keberhasilan, di antaranya adalah empati, mengungkapkan dan memahami perasaan, mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan memecahkan masalah pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan, dan sikap hormat (Shapiro, 1999).

Goleman (2000) mengartikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dalam hubungannya dengan orang lain. Kecerdasan emosional dalam pengertian Goleman (dalam Rostiana, 1997) tampaknya lebih ditujukan pada upaya mengenali, memahami, dan mewujudkan emosi dalam porsi yang tepat. Hal lain yang juga penting dalam kecerdasan emosional ini adalah upaya untuk mengelola emosi agar terkendali dan dapat dimanfaatkan untuk memecahkan masalah kehidupan terutama yang terkait dengan hubungan antarmanusia.

Reuven Baron (dalam Goleman, 2000) berpendapat bahwa kecerdasan emosional adalah serangkaian kemampuan pribadi, emosi, dan sosial yang mempengaruhi seseorang untuk berhasil dalam mengatasi tuntutan dan tekanan lingkungan. Berbagai penelitian dalam bidang psikologi telah membuktikan bahwa orang-orang dengan kecerdasan emosional tinggi adalah orang-orang yang dapat menguasai gejolak emosi, menjalin hubungan yang baik dengan orang lain, mampu mengelola stress dan memiliki kesehatan mental yang baik (Pertiwi, dkk., 1997). Menurut Shapiro (1999) kecerdasan emosional sangat berhubungan dengan berbagai hal yaitu perilaku moral, cara berpikir yang realistis, pemecahan masalah, interaksi sosial, emosi diri, dan keberhasilan, baik secara akademik maupunpekerjaan. Di pihak lain, Secapramana (1999) mengemukakan kecerdasan emosional merupakan kemampuan untuk mengenali, mengolah dan mengontrol emosi agar.................
Terima kasih telah berkunjung di blog penelitian tindakan kelas ini.
Selengkapnya makalah ini dapat dilihat sini sebagaimana aslinya
Baca Selengkapnya

Sabtu, 05 Mei 2012

laporan PTK: Matematika Realistik pada Anak Tunagrahita

Peningkatan Kualitas Pembelajaran Penjumlahan dan Pengurangan Melalui Pembelajaran Matematika Realistik Pesrta Didik Tunagrahita Ringan SLB Pembina Malang

Oleh:
Dwi Retno Palupi
Guru Matematika MTs Al Ma’arif 01Singosari Malang

Sumber Jurnal:

Jurnal Pendidikan Matematika, Universitas Muhammadiyah Malang, Februari, halaman 1 - 11.

Sebagian isi jurnal:

Pembelajaran matematika realistik efektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran peserta didik tunagrahita ringan meliputi peningkatan pemahaman konsep, peningkatan kemampuan penjumlahan dan pengurangan, dan peningkatan aktivitas peserta didik. Pembelajaran matematika realistik mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan terjadi interaksi positif antar guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik. Temuan ini sejalan dengan pandangan Vygotsky dalam Berk (2003) bahwa pembelajaran anak tunagrahita harus mempertimbangkan situasi sosial dimana mereka berada dan pembelajarannya secara termediasi (mediated learning). Selanjutnya, kualitas lingkungan belajar dan kualitas interaksi antara guru dengan peserta didik maupun peserta didik dengan peserta didik sangat membantu peserta didik dalam mengaktualisasikan perkembangan potensial peserta didik yang disebut Zone of proximal development. Hal ini juga sesuai saran model pembelajaran peserta didik tunagrahita Astati (2005) bahwa model interaksi perlu yakni menekankan terjadinya pembelajaran sebagai suatu interaksi anak dengan orang lain.

Satu lagi hal yang penting untuk melakukan penelitian mengenai pembelajaran matematika realistik adalah mengupayakan dalam satu kali pembelajaran bisa merangsang meningkatnya semua aspek hambatan fisik, sosial, emosi, dan intelektual peserta didik tunagrahita. Hal ini sejalan dengan pendapat Astati (2005) hendaknya model pembelajaran peserta didik tunagrahita sentuhannya mengembangkan seluruh aspek individu seperti aspek fisik, intelektual, sosial, dan emosi dalam sekali pertemuan.

Strategi yang digunakan

Proses pembelajaran dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga tahapan yaitu tahap awal, tahap inti, tahap akhir.
1. Tahap awal lebih ditekankan pada memotivasi peserta didik bahwa materi yang akan dipelajari lekat dengan pengalaman mereka. Dalam hal ini, sebelumnya peneliti membawa peserta didik berbelanja di koperasi sekolah dan Alfamart. Dengan bekerja sama dengan kasir maka peserta didik diberi pertanyaan-pertanyaan seputar penjumlahan dan pengurangan uang. Selain itu pada tahap awal guru harus mengecek secara detail kemampuan prasyarat setiap individu untuk mengetahui kemampuan dan hambatan tiap peserta didik, dan untuk mengetahui pengetahuan awal dilakukan tes diagnostik awal.
2. Tahap inti dimana terjadi proses mengkonstruksi pengalaman baru (bahan ajar) dan merekonstruksi pengalaman pada kognitif peserta didik. Pada tahap ini menurut Piaget (Suparno, 2001) terjadi apa yang disebut proses akomodasi yang menandakan bahwa telah terjadi perkembangan kognitif......................Baca selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.
Terima kasih telah berkunjung ke blog pendidikan tentang ptk dan model pembelajaran ini. Salam.
Sumber online: http://ejournal.umm.ac.id
Baca Selengkapnya

Jumat, 04 Mei 2012

Evaluasi Pendidikan Jasmani Dalam Pendekatan Portofolio

Evaluasi Pendidikan Jasmani Dalam Pendekatan Portofolio

Oleh: 
Andun Sudijandoko

Sumber Jurnal: 

Jurnal Pelangi Ilmu, Universitas Negeri Surabaya Volume 2 Nomor 2 Juli - Desember 2008, halaman 1 - 11.

Abstrak:

Evaluasi adalah istilah yang bukan merupakan hal yang asing bagi setiap guru pendidikan jasmani di sekolah. Bagi seorang guru tentu mengetahui dan sangat menyadari bahwa evaluasi harus selalu dilakukan, agar dapat selalu mengetahui kemajuan belajar siswa. Pelaksanaan evaluasi ini akan dapat dilaksanakan lebih baik, apabila guru sangat memahami akan makna dan fungsi dari sebuah evaluasi tersebut. Sebagai guru mata pelajaran pendidikan jasmani, mendapatkan manfaat yang sangat banyak disaat para guru tersebut melaksanakan evaluasi secara baik, manfaat tersebut antara lain: (1) Evaluasi memungkinkan guru lebih terampil dan cermat dalam menafsirkan kemajuan hasil belajar siswa. (2) Evaluasi akan memberi umpan balik bagi keberhasilan suatu program. (3) Evaluasi akan meningkatkan pengakuan pihak luar terhadap manfaat Pendidikan Jasmani. (4) Evaluasi dapat dijadikan ukuran keberhasilan guru dalam mengajar (PBM). Evaluasi dalam pendekatan portofolio, adalah kumpulan hasil kerja siswa untuk suatu tujuan tertentu, yang menggambarkan upaya, kemajuan, dan prestasi siswa dalam bidang tertentu. Proses pengumpulan harus melibatkan partisipasi siswa, terutama dalam menentukan materi, petunjuk pemilihan, kriteria penilaian dan bukti-bukti refleksi diri siswa. Instrumen yang digunakan berupa lembar kerja, laporan siswa, karya siswa dan lain-lain. Aspek yang dinilai sebaiknya mencerminkan aspek pengetahuan, aspek kebugaran siswa, prestasi kecabangan (Bukan teknik dasar dan prestasi olahraga). Aspek-aspek ini dijabarkan dalam indikator penilaian.

Kata Kunci: Evaluasi pendidikan jasmani dalam pendekatan portofolio

1. Kedudukan dan Prinsip Dasar Evaluasi

a. Kedudukan Evaluasi Dalam Proses Belajar Mengajar (PBM)
Peningkatan mutu proses belajar mengajar (PBM) merupakan problematik yang sangat penting dalam pendidikan jasmani di sekolah. Istilah belajar, lebih sering menitikberatkan atau menekankan pada aktivitas siswa, sedangkan istilah mengajar, lebih menekankan pada aktivitas guru. Namun titik sentral proses belajar mengajar adalah siswa belajar......................Baca selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.
Terima kasih telah berkunjung ke blog ptk (penelitian tindakan kelas) ini.
Baca Selengkapnya

Model Pembelajaran Kooperatif : Ketergantungan Positif

Ketergantungan Positif Jantung Pembelajaran Kooperatif

Apakah pembelajaran kooperatif yang dilakukan guru berhasil dengan baik? Untuk menjawab pertanyaan ini, sebaiknya seorang guru harus mencek apakah terbentuk suatu ketergantungan positif antara anggota-anggota di dalam kelompok-kelompok kooperatif siswa mereka. Mengapa demikian? Guru perlu mencek kembali pembelajaran kooperatif yang dilaksanakannya dengan memperhatikan faktor ini, karena ketergantungan positif antar anggota kelompok merupakan “jantung” dari model pembelajaran kooperatif.
Ketergantungan positif adalah kepercayaan yang terdapat pada setiap individu anggota kelompok bahwa bekerja bersama siswa lain akan memberikan hasil yang jauh lebih baik dibanding bekerja atau belajar sendirian.

Ketergantungan Positif Menurut Para Ahli

Beberapa kutipan berikut mengilustrasikan cara pandang yang berbeda tentang ketergantungan positif dalam model pembelajaran kooperatif:

  1. “Ketergantungan positif adalah menghubungkan siswa satu sama lain sehingga tidak ada seorangpun dapat sukses kecuali semua anggota kelompoknya yang lain juga sukses. Setiap anggota kelompok menyadari sepenuhnya bahwa mereka akan tenggelam bersama atau berenang bersama”, (Johnson, Johnson, dan Holubec, 1998).
  2. “Saat siswa memahami sepenuhnya tentang ketergantungan positif, mereka mengerti bahwa setiap usaha anggota kelompok wajib dan dibutuhkan untuk kesuksesan kelompoknya, dan setiap anggota mempunyai kontribusi yang unik terhadap upaya-upaya kelompok dari sumber daya, peran dan tanggung jawab mereka”, (Johnson, Johnson, dan Holubec, 1998).
  3. “Tujuan dari adanya ketergantungan positif adalah untuk menjamin bahwa kelompok disatukan oleh tujuan bersama, sebuah alasan bagi setiap anggota kelompok untuk mempelajari bahan ajar yang ditugaskan”, (Johnson, Johnson, dan Holubec, 1998).
  4. “Ketergantungan positif sukses dibangun bila anggota-anggota kelompok menyadari bahwa mereka dipersatukan dan dihubungkan satu sama lain sehingga tidak akan ada seorangpun siswa yang sukses kecuali semua anggota kelompok sukses. Tujuan kelompok dan tugas, harus dirancang  dan dikomunikasikan dengan siswa sehingga mereka percaya bahwa mereka sedang berenang bersama. Bila ketergantungan positif terbentuk dengan solid, maka akan tampak ciri: (a) setiap usaha anggota kelompok wajib dan dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan kelompok; (b) setiap anggota kelompok mempunyai kontribusi yang unik untuk kesuksesan dan upaya kelompok. Dengan demikian maka akan terbentuk sebuah komitmen bersama untuk kesuksesan kelompok sebagaimana komitmen untuk kesuksesan setiap anggota kelompok, yang merupakan jantung dari model pembelajaran kooperatif. Jika pada sebuah pembelajaran kooperatif tidak terjadi ketergantungan positif, maka berarti tak ada pembelajaran kooperatif (clcrc.com).

Elemen Pembelajaran untuk Menumbuhkan Ketergantungan Positif

Lalu bagaimana caranya sehingga ketergantungan positif ini dapat muncul dan terbentuk di pembelajaran guru yang mengacu pada model pembelajaran kooperatif? Berikut adalah beberapa elemen pembelajaran yang dapat dirancang untuk memunculkan dan membentuk ketergangantungan positif antar anggota kelompok kooperatif:
  1. Tujuan produk. Gunakan tujuan pembelajaran produk yang membutuhkan kontribusi dari seluruh anggota kelompok. Contohnya: bertanya kepada suatu kelompok siswa melalui pertanyaan yang memerlukan kesepakatan bersama untuk menjawabnya, kemudian lanjutkan dengan sebuah tujuan pemecahan masalah pada akhir pembelajaran, atau minta mereka untuk membuat sebuah paragraf tentang hal tersebut (www.learn-line.nrw.de).
  2. Penghargaan (reward). Penghargaan dapat dirancang untuk diberikan ketika mereka berhasil menyelesaikan tugas secara bersama-sama. Cara yang dapat dilakukan oleh guru misalnya selain ada skor individual untuk skor ulangan/latihan, siswa dapat memperoleh skor tertentu bila semua anggota kelompok dapat mencapai batas skor tertentu yang telah ditentukan oleh guru (www.learn-line.nrw.de)..
  3. Bahan ajar. Bahan ajar dapat dijadikan sarana untuk memicu muncul dan terbentuknya ketergantungan positif bila setiap siswa mempelajari/mempunyai bahan ajar yang spesifik (berbeda) yang dibutuhkan untuk kesuksesan kelompok (www.wcer.wisc.edu)..
  4. Peran. Peran setiap anggota di dalam kelompok dapat memicu dan membentuk ketergantungan positif antar anggota kelompok. Hal ini dapat dilakukan dengan pembagian tugas dan fungsi (misalnya, ada yang berperan sebagai pencatat data, pengamat waktu pada stopwatch, juru bicara, dsb.). Pastikan bahwa setiap anggota kelompok mendapatkan peran yang layak. Pemberian tugas yang kompleks dan harus dibagi-bagi untuk melakukannya akan menciptakan akuntabilitas setiap anggota kelompok dalam melaksanakan tugas belajar. Peran dapat dirolling untuk memberikan kesempatan dan pengalaman berbeda kepada setiap anggota kelompok (www.wcer.wisc.edu)..
  5. Tugas atau bagian tugas. Tugas atau bagian-bagian tugas dapat dirancang oleh guru sehingga dalam penyelesaiannya memerlukan saling ketergantungan positif antar anggota kelompok. Misalnya, pengambilan sampel air kolam dilakukan oleh 2orang siswa, sementara 2 orang siswa lainnya bertugas mempelajari bagaimana cara pengambilan air sampel kolam melalui studi pustaka (www.wcer.wisc.edu).
Terimakasih telah berkunjung ke blog ptk dan model pembelajaran ini, sampai jumpa lagi.

Referensi:

Johnson, R.T., Johnson, D.W., and Holubec, E.J. (1998). Cooperation in the Classroom. Boston: Allyn and Bacon.

Tersedia di world wide web: http://www.wcer.wisc.edu/nise/CL1/CL/moreinfo/MI3D.htm. [Diakses 2012-05-2]

Tersedia di world wide web: http://www.learn-line.nrw.de/angebote/greenline/lernen/downloads/typesof.pdf. [Diakses 2012-05-2]
Baca Selengkapnya

Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD : Cara Memperkenalkan

Cara Memperkenalkan Model Pembelajaran Kooperatif tipe STAD

Blog ptk dan model pembelajaran kali ini menulis tentang bagaimana cara memperkenalkan model pembelajaran tipe STAD untuk pertama kalinya kepada siswa di kelas. Yuk disimak. Melaksanakan pembelajaran kooperatif sebenarnya tidaklah terlalu sulit. Walaupun demikian tetap butuh persiapan yang matang, supaya pembelajaran kooperatif yang dilaksanakan oleh guru tidak menjadi pembelajaran tradisional - konvensional walaupun telah bersetting pembelajaran berkelompok.

Langkah-Langkah oleh Guru

Bila pembelajaran kooperatif pertama kali dilaksanakan di dalam kelas, sebaiknya guru terlebih dahulu memperkenalkannya kepada siswa. Salah satu model pembelajaran kooperatif yang relatif sederhana pelaksanaannya adalah model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams-Achievement Divisions) yang telah dikembangkan oleh Slavin (1994). Langkah-langkah yang dapat dilakukan guru untuk memperkenalkan model pembelajaran kooperatif kepada siswa adalah sebagai berikut:

  1. Bagi siswa ke dalam kelompomyang terdiri dari 4 - 5 orang. Sebagai catatan: 4 anggota lebih baik. Anggota kelompok dapat ditempatkan 5 orang jika kelas tersebut tidak dapat dibagi 4 secara merata. Sebelum membagi mereka, peringkatkan siswa anda berdasarkan kinerja akademik yang telah guru rekam melalui catatan nilai mereka. Kemudian bagi daftar tersebut menjadi 4 bagian. Keempat bagian menunjukkan kelompok siswa dengan kinerja akademik: Tinggi - Sedang - Sedang - Kurang. Selanjutnya, ambil dari setiap bagian itu 1 siswa, sehingga setiap kelompok terdiri dari 4 anggota dengan kinerja akademik tinggi, sedang, sedang, dan kurang. Perhatikan pula keseimbangan jenis kelamin, kesukuan, agama, sosial, dan ekonomi setiap kelompok yang dibentuk sehingga benar-benar heterogen. Bila siswa berlebih (dari komposisi 4 orang per kelompok, maka beberapa kelompok dapat diisi dengan 5 orang, dengan catatan, sebaiknya siswa lebih itu harus berasal dari siswa dengan kinerja akademik sedang.
  2. Siapkan lembar kerja atau beberapa tugas yang akan diberikan pada pembelajaran, di mana selama pembelajaran setiap kelompok bertugas menguasai atau menyelesaikan lembar kerja/tugas dan saling bantu untuk menguasai tugas/lembar kerja tersebut.
  3. Saat guru mulai memperkenalkan pembelajaran kooperatif tipe STAD, dalam kegiatan pembelajarannya guru dapat mulai dengan membacakan tugas-tugas tim. Selanjutnya mintalah setiap tim untuk menyatukan meja, dan beri bantuan untuk proses transisi ini agar kelas tidak menjadi ribut. Berilah waktu beberapa menit (misal 10 menit) untuk memberi kesempatan kepada setiap kelompok memberi nama tim mereka. Beri inspirasi bila dibutuhkan.
  4. Berikutnya, bagilah lembar kerja atau tugas yang telah anda siapkan sebagaimana tersebut di atas (cukup 2 eksemplar untuk setiap tim, JANGAN LEBIH).
  5. Sarankan setiap tim untuk bekerja di kelompoknya secara berpasangan (berdua-berdua atau berdua-bertiga bagi kelompok yang beranggotakan 5 orang). Mereka dapat diajarkan berbagi tugas, atau saling mengoreksi, menjelaskan, dan mengkritisi pekerjaan pasangan lain di dalam kelompoknya.
  6. Selalu memberi penekanan kepada seluruh kelompok agar jangan berhenti mempelajari lembar kerja / tugas sebelum SEMUA anggota kelompok memiliki pemahaman yang sama terhadap tugas yang telah diberikan itu. Jelaskan kepada siswa bahwa hasil pekerjaan mereka di lembar kerja atau tugas tersebut tidak akan dinilai, hanya dijadikan sebagai latihan saja.
  7. Apabila siswa mempunyai pertanyaan, upayakan agar mereka terlebih dahulu menanyakan pertanyaan itu kepada anggota lain di dalam kelompoknya.
  8. Berkelilinglah di dalam kelas dan pujilah kinerja-kinerja yang baik yang ditampilkan siswa. Beri umpan balik bagaimana cara mereka bekerja sama di dalam kelompok.
  9. Berikanlah tugas/lembar kerja lainnya. Kali ini mereka tidak boleh bekerja sama. Berikan waktu yang cukup untuk mengerjakannya secara individual. Ini adalah saat setiap anggota kelompok bahwa mereka telah berusaha belajar dengan baik pada saat tugas / lembar kerja pertama (yang sebelumnya) diberikan. Saat menyelesaikan tugas individual ini, pisahkanlah meja mereka bila dibutuhkan.
  10. Kumpulkan lembar kerja/tugas. Hitung nilai setiap individu anggota kelompok untuk pengerjaan tugas tersebut. Nilai didasarkan pada skor peningkatan terhadap skor dasar (nilai ulangan atau tugas mereka sebelumnya).
  11. Kumpulkan nilai-nilai anggota kelompok sebagai nilai tim mereka. Beri penghargaan kepada kelompok-kelompok yang memiliki nilai bagus, juga individu yang memberikan sumbangan bagus kepada kelompoknya. Semua ini dimaksudkan sebagai bentuk akuntabilitas  setiap individu anggota tim terhadap kelompoknya masing-masing.

Baca Selengkapnya

Saya Seorang Guru dan Saya Ingin....

Keinginan Seorang Guru ...


Berkomitmen pada siswa dan pembelajaran siswa saya dengan:

  • Membuat pembelajaran yang saya lakukan dapat diakses oleh semua siswa saya, dan selalu yakin – percaya bahwa siswa saya mampu belajar dan mengikuti semua pembelajaran bersama saya. 
  • Tidak membeda-bedakan siswa. Mereka kedudukan mereka sama di mata saya, tetapi sekaligus saya menyadari bahwa mereka mempunyai perbedaan-perbedaan yang membuat mereka saling unik satu sama lain. 
  • Memahami bagaimana siswa saya tumbuh dan berkembang serta belajar. Saya akan selalu merhargai perbedaan kultural, agama, sosial, dan keluarga yang masing-masing mereka bawa kedalam kelas saya. 
  • Peduli pada konsep diri yang telah dimiliki siswa saya, motivasi mereka, dan efek dari pembelajaran mereka saat bekerja sama dengan teman-temannya. Peduli dengan perkembangan karakter dan tanggungjawab sosial mereka. 

Mengetahui dan menguasai materi pelajaran yang saya harus ajarkan, serta bagaimana cara membelajarkan materi pelajaran tersebut kepada siswa saya. Hal ini mewujud pada:

  • Penguasaan materi yang saya ajarkan. Dan saya mempunyai pemahaman mendalam tentang sejarah, struktur, dan aplikasi di dunia nyata tentang materi pelajaran itu. 
  • Keterampilan dan pengalaman dalam mengajar saya, di mana saya menyadari secara gamblang konsepsi awal yang dibawa siswa saya sebelum mengikuti pembelajaran bersama saya. 
  • Kemampuan saya untuk menggunakan berbagai strategi mengajar sehingga siswa yang mengikuti pembelajaran saya memperoleh pemahaman yang mantap terhadap materi pembelajaran. 

Bertanggung jawab dengan memanajemen dan memonitor pembelajaran siswa saya melalui:

  • Pembelajaran efektif yang saya laksanakan, di mana saya mampu menggunakan berbagai teknik pembelajaran sehingga membuat siswa saya tetap termotivasi, tetap berupaya, dan terus fokus dalam pembelajaran. 
  • Kemampuan saya untuk terus mengupayakan siswa tetap berada dalam lingkungan belajar yang berdisiplin, dan kemampuan untuk mengorganisasikan pembelajaran saya sehingga siswa saya dapat mencapai tujuan pembelajaran. 
  • Pengetahuan saya dalam mengassess kemajuan setiap siswa, demikian pula kemajuan seluruh anggota kelas. 
  • Penggunaan beragam metode untuk mengukur perkembangan dan pemahaman siswa, serta menjelaskan kepada orang tua mereka bagaimana kinerja putra-putri mereka. 

Berpikir secara sistematis tentang praktik pembelajaran saya dan selalu belajar dari pengalaman, dengan cara:

  • Meniru model yang sesuai, seperti orang-orang berpendidikan di mana mereka – membaca, bertanya, mencipta, dan selalu bersedia untuk mencoba suatu hal baru. 
  • Mengakrabi berbagai teori-teori belajar dan strategi-strategi mengajar, dan selalu buka mata dan telinga terhadap isu-isu pendidikan terbaru. 
  • Mengkritisi dan menguji praktik pembelajaran yang saya lakukan untuk memperoleh pemahaman dan pengetahuan baru, memperluas repertoir keterampilan saya, dan memadukan penemuan-penemuan terbaru ke dalam praktik mengajar saya. 

Menjadi salah satu anggota komunitas-komunitas belajar (learning communities), di mana saya dapat:

  • Berkolaborasi dengan orang lain untuk meningkatkan pembelajaran siswa saya.

    Terima kasih sudah berkunjung ke blog model-model pembelajaran dan penelitian tindakan kelas ini. Sampai Jumpa lagi.
    Baca Selengkapnya

    Kamis, 03 Mei 2012

    Penelitian Pre Ekperimental tentang Pemanfaatan Media Kartu Hitung pada Mata Pelajaran Matematika di SD

    Pengaruh Pemanfaatan Media Permainan Kartu Hitung Terhadap Hasil Belajar Siswa Materi Ajar Operasi Hitung Campuran Mata Pelajaran Matematika Kelas Iii Sdn Babat Jerawat I Surabaya


    Zuhrotul Komariyah dan, Soeparno
    Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
    Universitas Negeri Surabaya
    Kampus Lidah Wetan

    Sumber Jurnal: 

    Jurnal Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya Volume 10 No. 1 April 2010, halaman 63 - 73.

    Abstrak:

    Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang dianggap abstrak dan imajinatif, sehingga dalam proses pembelajarannya guru dituntut untuk kreatif dalam memanfaatkan media pembelajaran. Pada studi pendahuluan ditemukan permasalahan bahwa guru dalam mengajar hanya menggunakan buku teks, sehingga siswa mengalami kejenuhan dalam belajar matematika. Kondisi yang demikian berdampak pada hasil belajar siswa yang menurun, sehingga peneliti mencoba mengatasi permasalahan tersebut dengan memanfaatkan media permainan kartu hitung .Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pemanfaatan media permainan kartu hitung dan untuk mengetahui adakah pengaruh yang signifikan antara pemanfaatan media permainan kartu hitung dengan peningkatan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika kelas III SDN Babat Jerawat I Surabaya.Hasil dari analisis observasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa proses pemanfaatan media permainan kartu hitung dengan sumber data guru diperoleh hasil sebesar 84%, jika hasil tersebut dikonsultasikan dengan kriteria maka tergolong baik sekali. Untuk data hasil observasi proses pemanfaatan media permainan kartu hitung dengan sumber data siswa diperoleh hasil sebesar 82, 5 %, jika hasil tersebut dikonsultasikan dengan kriteria maka tergolong baik sekali. Sedangkan uji hasil tes diperoleh t hitung 14, 53 dengan db = 40 – 1 = 39 dan taraf signifikan 5 % maka diperoleh t tabel 2, 021. Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa t hitung lebih besar dari t tabel yaitu 14, 53 > 2, 021. Maka data ini menunjukkan bahwa pemanfaatan media permainan kartu hitung dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran matematika pokok bahasan operasi hitung campuran kelas III SDN Babat Jerawat I Surabaya.

    Kata Kunci: Pemanfaatan media permainan kartu hitung, hasil belajar


    1. Pendahuluan

    Matematika merupakan pelajaran yang sangat sulit, meskipun ada yang menyenangi pelajaran itu. Segala cara dan usaha dilakukan untuk dapat mewujudkan adanya pemahaman belajar yang baik pada mata pelajaran matematika. Banyak usaha yang dilakukan oleh orang tua untuk membantu putra-putrinya agar mampu menguasai operasi berhitung. Misalnya, mengikut sertakan putra-putrinya mengikuti bimbingan belajar di sekolah, mendatangkan guru privat di rumah, dan mengikutkan bimbingan di tempat kursus. Agar siswa dapat menerima dan memahami operasi berhitung dengan baik, maka diperlukan usaha untuk menarik perhatian siswa, salah satunya adalah dengan cara memanipulasi suasana pembelajaran dan media pembelajaran. Dengan menerapkan pembelajaran yang menarik maka siswa akan giat dalam belajar, sehingga kegiatan belajar yang diharapkan akan muncul dan mencapai hasil yang baik pula.....................Baca selengkapnya makalah ini sebagaimana aslinya di sini.

    Terima kasih telah membaca blog model pembelajaran dan ptk ini. Salam.
    Baca Selengkapnya

    Rabu, 02 Mei 2012

    PTK : Cara Menulis Latar Belakang Masalah Bag 2

    Pada tulisan sebelumnya di blog penelitian tindakan kelas dan model pembelajaran ini saya telah memberi sebuah contoh tentang PTK : Cara Menulis Latar Belakang Masalah. Tulisan kali ini masih membahas masalah yang sama, hanya saja dengan contoh yang berbeda. Maksudnya biar tambah jelas.

    Unsur-Unsur Esensial Latar Belakang Masalah

    Sekali lagi, dalam menulis Latar Belakang Masalah untuk Proposal PTK atau Laporan PTK anda harus memperhatikan komponen/unsur-unsur esensial yang harus terdapat di dalamnya. Unsur-unsur yang dimaksud yaitu :

    1. Kondisi ideal di dalam kelas/pembelajaran yang diharapkan oleh guru/peneliti.
    2. Kondisi saat ini (yang sedang terjadi) di dalam kelas/pembelajaran guru/peneliti.
    3. Kesenjangan (gap) antara kondisi ideal (no.1) dengan kondisi saat ini (no.2) beserta penyebab munculnya kesenjangan (gap), dengan kata lain akar permasalahan yang muncul/sumber masalah.
    4. Urgensi penyelesaian masalah, atau dengan kata lain dampak-dampak negatif jika permasalahan di kelas/pembelajaran guru tersebut tidak diselesaikan.
    5. Alternatif solusi/pemecahan masalah berupa tindakan (action) terbaik yang diperkirakan dapat menyelesaikan masalah.

    Contoh Cara Menulis Latar Belakang Masalah

    Mari kita lihat contoh berikut, yang disajikan dalam bentuk tabel supaya anda mudah membedakan kelima unsur penyusun Latar Belakang Masalah tersebut:


    No.Unsur ParagrafRumusan Paragraf Latar Belakang Masalah
    1.Kondisi ideal di dalam kelas/pembelajaran yang diharapkan oleh guru/peneliti.Penguasaan keterampilan matematis adalah suatu keterampilan prasyarat yang mutlak harus dimiliki oleh siswa saat mempelajari materi IPA Fisika. Keterampilan matematis yang baik akan membawa siswa menjadi pebelajar yang mampu menyelesaikan soal-soal yang mengandung perhitungan matematis. Bila kemampuan dalam penguasaan keterampilan matematis (dalam hal ini) penyelesaian hitungan-hitungan yang melibatkan berbagai macam operasi seperti penjumlahan, perkalian, pembagian dari berbagai jenis bilangan mulai dari bilangan bulat, bilangan desimal, hingga bilangan berpangkat atau pecahan tentu akan sangat membantu guru IPA Fisika dalam membelajarkan konsep-konsep yang akan diberikan.
    2.Kondisi saat ini (yang sedang terjadi) di dalam kelas/pembelajaran guru/peneliti.Kenyataan di kelas VII SMP Negeri Danau Panggang, penguasaan keterampilan perhitungan matematis masih kurang baik, sehingga menyebabkan guru terhambat dalam membelajarkan konsep-konsep IPA Fisika yang harus mereka kuasai. Kenyataan ini tampak pada hasil-hasil analisis ulangan harian yang dilakukan oleh peneliti (guru IPA), di mana kebanyakan soal yang tidak bisa atau tidak sempurna dijawab oleh siswa adalah soal-soal yang melibatkan perhitungan matematis yang rumit / kompleks.
    3.Kesenjangan (gap) antara kondisi ideal (no.1) dengan kondisi saat ini (no.2) beserta penyebab munculnya kesenjangan (gap), dengan kata lain akar permasalahan yang muncul/sumber masalah.Kemungkinan penyebab permasalahan ini adalah kurangnya latihan/tugas yang tersusun dengan urutan yang baik (logis). Suatu tugas / latihan untuk mengajarkan sebuah keterampilan kompleks seperti keterampilan perhitungan matematis seharusnya diurutkan dari yang kurang kompleks menuju yang lebih kompleks, dari keterampilan perhitungan matematis yang sederhana menuju ke keterampilan perhitungan matematis yang lebih kompleks. 
    4.Urgensi penyelesaian masalah, atau dengan kata lain dampak-dampak negatif jika permasalahan di kelas/pembelajaran guru tersebut tidak diselesaikan. Kemampuan dalam penguasaan keterampilan matematis ini memang seharusnya lebih menjadi tanggung jawab guru matematika. Akan tetapi, apabila permasalahan ini terus dibiarkan maka akan sangat berdampak pada proses dan hasil pembelajaran IPA mereka. Proses pembelajaran IPA Fisika akan menjadi terhambat, sehingga hasil yang diharapkan juga tentunya tidak akan dapat dicapai dengan baik. Jadi, menyelesaikan permasalahan ini sudah pula sepantasnya menjadi bagian tugas guru IPA.
    5.Kondisi ideal di dalam kelas/pembelajaran yang diharapkan oleh guru/peneliti.Kauchack dan Eggen (1993), pada saat akan mengajarkan sebuah keteraampilan kompleks, guru sebaiknya melakukan task analysis terlebih dahulu. Task anaylisis adalah kegiatan yang dilakukan saat merencanakan pembelajaran, di mana guru memecah-memecah sebuah keterampilan kompleks menjadi komponen-komponen berupa keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana berdasarkan uruta-urutan prasyarat. Perencanaan dengan melakukan task analysis ini adalah merupakan alternatif solusi terbaik yang mungkin dilakukan oleh guru IPA dalam upayanya untuk memecahkan permasalahan tersebut di atas.

    Sehingga Latar Belakang akan jadi seperti ini:

    A. LATAR BELAKANG MASALAH

    Penguasaan keterampilan matematis adalah suatu keterampilan prasyarat yang mutlak harus dimiliki oleh siswa saat mempelajari materi IPA Fisika. Keterampilan matematis yang baik akan membawa siswa menjadi pebelajar yang mampu menyelesaikan soal-soal yang mengandung perhitungan matematis. Bila kemampuan dalam penguasaan keterampilan matematis (dalam hal ini) penyelesaian hitungan-hitungan yang melibatkan berbagai macam operasi seperti penjumlahan, perkalian, pembagian dari berbagai jenis bilangan mulai dari bilangan bulat, bilangan desimal, hingga bilangan berpangkat atau pecahan tentu akan sangat membantu guru IPA Fisika dalam membelajarkan konsep-konsep yang akan diberikan.

    Kenyataan di kelas VII SMP Negeri Danau Panggang, penguasaan keterampilan perhitungan matematis masih kurang baik, sehingga menyebabkan guru terhambat dalam membelajarkan konsep-konsep IPA Fisika yang harus mereka kuasai. Kenyataan ini tampak pada hasil-hasil analisis ulangan harian yang dilakukan oleh peneliti (guru IPA), di mana kebanyakan soal yang tidak bisa atau tidak sempurna dijawab oleh siswa adalah soal-soal yang melibatkan perhitungan matematis yang rumit / kompleks.

    Kemungkinan penyebab permasalahan ini adalah kurangnya latihan/tugas yang tersusun dengan urutan yang baik (logis). Suatu tugas / latihan untuk mengajarkan sebuah keterampilan kompleks seperti keterampilan perhitungan matematis seharusnya diurutkan dari yang kurang kompleks menuju yang lebih kompleks, dari keterampilan perhitungan matematis yang sederhana menuju ke keterampilan perhitungan matematis yang lebih kompleks.

    Kemampuan dalam penguasaan keterampilan matematis ini memang seharusnya lebih menjadi tanggung jawab guru matematika. Akan tetapi, apabila permasalahan ini terus dibiarkan maka akan sangat berdampak pada proses dan hasil pembelajaran IPA mereka. Proses pembelajaran IPA Fisika akan menjadi terhambat, sehingga hasil yang diharapkan juga tentunya tidak akan dapat dicapai dengan baik. Jadi, menyelesaikan permasalahan ini sudah pula sepantasnya menjadi bagian tugas guru IPA.

    Kauchack dan Eggen (1993), pada saat akan mengajarkan sebuah keteraampilan kompleks, guru sebaiknya melakukan task analysis terlebih dahulu. Task anaylisis adalah kegiatan yang dilakukan saat merencanakan pembelajaran, di mana guru memecah-memecah sebuah keterampilan kompleks menjadi komponen-komponen berupa keterampilan-keterampilan yang lebih sederhana berdasarkan uruta-urutan prasyarat. Perencanaan dengan melakukan task analysis ini adalah merupakan alternatif solusi terbaik yang mungkin dilakukan oleh guru IPA dalam upayanya untuk memecahkan permasalahan tersebut di atas.

    Mudah-mudahan dengan kedua contoh (PTK : Cara Menulis Latar Belakang Masalah dan PTK : Cara Menulis Latar Belakang Masalah Bag 2) ini, anda tidak lagi mengalami kesulitan dalam menulis latar belakang masalah untuk proposal atau laporan PTK anda.
    Baca Selengkapnya

    PTK : Cara Menulis Latar Belakang Masalah

    Bagaimana Cara Menulis Latar Belakang Masalah?

    Kesulitan menulis Latar Belakang Masalah pada proposal Penelitian Tindakan Kelas anda? Ha.. Jangan takut. Ada formula mudah untuk menuliskannya dan tentu saja akurat (sesuai aturan/kaidah).Baca langkah-langkahnya di bawah ini.

    Unsur Penting Latar Belakang Masalah

    Latar Belakang Maslah adalah salah satu komponen pada proposal PTK atau pada Bab I Laporan PTK yang harus anda tulis dengan tajam dan tidak mengambang kemana-mana. Latar Belakang Masalah seharusnya mengandung 5 unsur penting, yang minimal tergambar dalam 5 paragraf yang saling menyatu dan berhubungan satu sama lain membentuk pondasi Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang dilakukan oleh guru/peneliti. Kelima (5) unsur penting itu wajib ada, yaitu:
    1. Kondisi ideal di dalam kelas/pembelajaran yang diharapkan oleh guru/peneliti.
    2. Kondisi saat ini (yang sedang terjadi) di dalam kelas/pembelajaran guru/peneliti.
    3. Kesenjangan (gap) antara kondisi ideal (no.1) dengan kondisi saat ini (no.2) beserta penyebab munculnya kesenjangan (gap), dengan kata lain akar permasalahan yang muncul/sumber masalah.
    4. Urgensi penyelesaian masalah, atau dengan kata lain dampak-dampak negatif jika permasalahan di kelas/pembelajaran guru tersebut tidak diselesaikan.
    5. Alternatif solusi/pemecahan masalah berupa tindakan (action) terbaik yang diperkirakan dapat menyelesaikan masalah.
    Mari kita lihat contoh berikut, yang disajikan dalam bentuk tabel supaya anda mudah membedakan kelima unsur penyusun Latar Belakang Masalah tersebut:

    Contoh Cara Mengembangkan Latar Belakang Masalah pada sebuah Proposal PTK atau Laporan PTK (Penelitian Tindakan Kelas)

    No.UnsurContoh Isi Paragraf
    1.Kondisi ideal di dalam kelas/pembelajaran yang diharapkan oleh guru/peneliti.Pada pembelajaran IPA, pemahaman terhadap konsep-konsep esensial sangat penting. Pemahaman terhadap konsep-konsep esensial yang baik akan membuat peserta didik menempatkan konsep-konsep tersebut dalam sistem memori jangka panjang (long term memory) dan dapat menggunakannya untuk berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi (higher level thinking) seperti pemecahan masalah dan berpikir kreatif. Pemahaman konsep-konsep esensial yang baik semestinya akan mempermudah mereka dalam mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh sekolah.
    2.Kondisi saat ini (yang sedang terjadi) di dalam kelas/pembelajaran guru/peneliti.Kenyataan saat ini di kelas VIIIB SMP Negeri 4 Amuntai masih jauh dari kondisi ideal tersebut. Pemahaman terhadap konsep-konsep esensial pada mata pelajaran IPA untuk materi bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari masih rendah (rata-rata kelas 63,28). Selain itu jumlah peserta didik yang berhasil mencapai dan melampaui KKM  kurang dari 75%. KKM mata pelajaran IPA pada Tahun Pelajaran 2010/2011 yang lalu adalah ≥ 61. Jumlah peserta didik yang berhasil mencapai dan melampaui KKM yang kurang dari 75% ini menyebabkan guru harus melakukan pembelajaran remedial secara klasikal. Kemudian, KKM mata pelajaran IPA pada Tahun Pelajaran 2011/2012 ini telah ditingkatkan menjadi ≥ 65, hal ini juga berarti bahwa kemungkinan persentase peserta didik yang tidak dapat mencapai KKM yang dinaikkan tersebut semakin besar.
    3.Kesenjangan (gap) antara kondisi ideal (no.1) dengan kondisi saat ini (no.2) beserta penyebab munculnya kesenjangan (gap), dengan kata lain akar permasalahan yang muncul/sumber masalah.Beberapa kemungkinan penyebab rendahnya pemahaman peserta didik tentang materi Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari sehingga berakibat pada rendahnya nilai rata-rata kelas dan ketuntasan klasikal yang tidak tercapai adalah: (1) materi Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari merupakan materi yang sangat banyak mengandung konsep-konsep bidang kimia dengan istilah-istilah yang sulit diingat dan dipahami; (2) strategi pembelajaran yang digunakan masih belum cukup untuk memfasilitasi pemerolehan pehamaman bagi peserta didik.
    4.Urgensi penyelesaian masalah, atau dengan kata lain dampak-dampak negatif jika permasalahan di kelas/pembelajaran guru tersebut tidak diselesaikan.Kondisi demikian apabila terus dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kualitas pembelajaran mata pelajaran IPA di Kelas VIIIB tersebut khususnya, dan di SMPN 4 Amuntai secara keseluruhan. Padahal, materi Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari merupakan salah satu materi esensial dalam kurikulum. Hal ini tercermin dari selalu termuatnya materi ini dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Ujian Nasional (UN) pada 3 tahun terakhir ini. 
    5.Alternatif solusi/pemecahan masalah terbaik yang diperkirakan dapat menyelesaikan masalah.Salah satu alternatif pemecahan masalah di atas yang mungkin untuk dilaksanakan oleh guru adalah melaksanakan pembelajaran IPA dengan menggunakan strategi memory cycle. Menurut Sprenger (2005), pembelajaran yang dilakukan dengan stretegi memory cycle yang terdiri dari 7 langkah (reach, reflect, recode, reinforce, rehearse, review, dan retrieve) memungkinkan peserta didik untuk dapat menyimpan konsep-konsep esensial yang diberikan dalam memori jangka panjang (long term memory) dan memungkinkan mereka untuk menggunakan konsep-konsep saat berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi (higher level thinking).

    Sehingga pada bagian Latar Belakang Masalah di Proposal PTK atau Laporan PTK hasilnya akan seperti ini:

    ===========

    A. LATAR BELAKANG MASALAH

    Pada pembelajaran IPA, pemahaman terhadap konsep-konsep esensial sangat penting. Pemahaman terhadap konsep-konsep esensial yang baik akan membuat peserta didik menempatkan konsep-konsep tersebut dalam sistem memori jangka panjang (long term memory) dan dapat menggunakannya untuk berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi (higher level thinking) seperti pemecahan masalah dan berpikir kreatif. Pemahaman konsep-konsep esensial yang baik semestinya akan mempermudah mereka dalam mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM) yang telah ditetapkan oleh sekolah.

    Kenyataan saat ini di kelas VIIIB SMP Negeri 4 Amuntai masih jauh dari kondisi ideal tersebut. Pemahaman terhadap konsep-konsep esensial pada mata pelajaran IPA untuk materi bahan kimia dalam kehidupan sehari-hari masih rendah (rata-rata kelas 63,28). Selain itu jumlah peserta didik yang berhasil mencapai dan melampaui KKM  kurang dari 75%. KKM mata pelajaran IPA pada Tahun Pelajaran 2010/2011 yang lalu adalah ≥ 61. Jumlah peserta didik yang berhasil mencapai dan melampaui KKM yang kurang dari 75% ini menyebabkan guru harus melakukan pembelajaran remedial secara klasikal. Kemudian, KKM mata pelajaran IPA pada Tahun Pelajaran 2011/2012 ini telah ditingkatkan menjadi ≥ 65, hal ini juga berarti bahwa kemungkinan persentase peserta didik yang tidak dapat mencapai KKM yang dinaikkan tersebut semakin besar.

    Beberapa kemungkinan penyebab rendahnya pemahaman peserta didik tentang materi Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari sehingga berakibat pada rendahnya nilai rata-rata kelas dan ketuntasan klasikal yang tidak tercapai adalah: (1) materi Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari merupakan materi yang sangat banyak mengandung konsep-konsep bidang kimia dengan istilah-istilah yang sulit diingat dan dipahami; (2) strategi pembelajaran yang digunakan masih belum cukup untuk memfasilitasi pemerolehan pehamaman bagi peserta didik.

    Kondisi demikian apabila terus dibiarkan akan berdampak buruk terhadap kualitas pembelajaran mata pelajaran IPA di Kelas VIIIB tersebut khususnya, dan di SMPN 4 Amuntai secara keseluruhan. Padahal, materi Bahan Kimia Dalam Kehidupan Sehari-hari merupakan salah satu materi esensial dalam kurikulum. Hal ini tercermin dari selalu termuatnya materi ini dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL) untuk Ujian Nasional (UN) pada 3 tahun terakhir ini. 

    Salah satu alternatif pemecahan masalah di atas yang mungkin untuk dilaksanakan oleh guru adalah melaksanakan pembelajaran IPA dengan menggunakan strategi memory cycle. Menurut Sprenger (2005), pembelajaran yang dilakukan dengan stretegi memory cycle yang terdiri dari 7 langkah (reach, reflect, recode, reinforce, rehearse, review, dan retrieve) memungkinkan peserta didik untuk dapat menyimpan konsep-konsep esensial yang diberikan dalam memori jangka panjang (long term memory) dan memungkinkan mereka untuk menggunakan konsep-konsep saat berpikir pada tingkatan yang lebih tinggi (higher level thinking).

    ===============
    Gampang sekali bukan? Saya yakin anda dapat menulis Latar Belakang Masalah untuk Proposal atau Laporan PTK anda dengan gaya dan isi yang jauh lebih baik dari contoh di atas. Bila ingin contoh lain anda dapat membaca Cara Menulis Latar Belakang Masalah Bagian 2. Selamat melaksanakan penelitian tindakan kelas.
    Baca Selengkapnya

    Model Pembelajaran Siklus Belajar (Learning Cycle)

    Siklus Belajar, Apakah itu?

    Jumpa lagi di blog ptk dan model pembelajaran. Kini kita akan membahasa model pembelajaran siklus belajar atau dalam istilah Inggrisnya Learning Cycle. Siklus belajar ( learning cycle ) merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada teori Piaget dan teori pembelajaran kognitif serta aplikasi model pembelajaran konstruktivis. Model ini dikembangkan oleh Robert Karplus dan koleganya dalam rangka memperbaiki kurikulum sains SCIS  ( Science Curriculum Improvement Study) dengan tahapan-tahapannya : exploration, invention dan discovery, namun kemudian dikembangkan oleh Charles R. Barman dengan tahapan-tahapannya : exploration phase, concept introduction, dan concept application. Selanjutnya model ini kemudian dikembangkan lagi dan dewasa ini lebih dikenal dengan model siklus belajar sains 4-E ( 4-E science learning cycle ), dengan tahapan-tahapan : exploration phase, explanation phase, expansion phase, evaluation phase (Carin 1993:87)

    Menurut Lawson (1989) dalam Bybee (1996:205) siklus belajar  sains  adalah satu cara berpikir dan bertindak yang cocok untuk siswa belajar. Penggunaan siklus belajar (learning cycle)  memberikan kesempatan bagi siswa untuk mengungkapkan pengetahuan sebelumnya dan kesempatan untuk menyanggah, mendebat gagasan-gagasan mereka, proses ini menghasilkan ketidakseimbangan kognitif, sehingga  mengembangkan tingkat penalaran yang lebih tinggi, dan merupakan suatu pendekatan yang baik untuk pembelajaran sains.

    Menurut  Renner dan Marek  dalam Martin (1994:202-203)  bahwa dari riset yang mereka lakukan tentang penggunaan  model siklus belajar (learning cycle)  pada pembelajaran ternyata hasilnya dapat meningkatkan prestasi  anak-anak dan meningkatkan pengembangan keterampilan prosesnya. Mereka juga mengakui bahwa siklus belajar (learning cycle) dapat meningkatkan intelektual anak. Bagaimanapun juga mereka menyimpulkan  bahwa model siklus belajar (learning cycle) adalah suatu cara untuk membantu anak-anak menerapkan matematika, keterampilan ilmu kemasyarakatan, menginterpretasikan grafik, tabel, dan poster serta asimilasi data untuk memecahkan masalah, dan menentukan maksud atau arti kalimat.  Para peneliti mengungkapkan bahwa siklus belajar (learning cycle) adalah suatu cara alami untuk belajar dan memenuhi tujuan pendidikan uang utama : membantu anak-anak belajar bagaimana cara berpikir.

    Fase atau Langkah-Langkah Siklus Belajar

    Fase-fase siklus belajar sains  (the science learning cycle)  dengan penjelasan fase-fasenya  sebagai berikut :

    Fase  I. Exploration (penyelidikan)

    Pada fase ini para siswa belajar melalui keterlibatan dan tindakan-tindakan, gagasan-gagasan mereka dan hubungan-hubungan dengan materi baru diperkenalkan dengan bimbingan guru yang minimal agar memungkinkan siswa menerapkan pengetahuan sebelumnya, mengembangkan minat, menumbuhkan dan memelihara rasa ingin tahu terhadap materi itu. Materi perlu disusun secara cermat sehingga sasaran belajar itu menggunakan konsep dan gagasan yang mendasar. Selama fase ini guru menilai pemahaman para siswa terhadap sasaran pelajaran. Menurut Bybee bahwa, tugas guru disini tidak boleh memberitahukan atau menerangkan konsep.

    Fase  II. Explanation (Pengenalan)

    Pada fase ini para siswa kurang terpusat dan ditunjukkan untuk mengembangkan mental. Tujuan dari fase ini guru membantu para siswa memperkenalkan konsep sederhana, jelas dan langsung yang berkaitan dengan fase sebelumnya, dengan berbagai strategi para siswa disini harus terfokus pada pokok penemuan konsep-konsep yang mendasar secara kooeperatif dibawah bimbingan guru (guru sebagai fasilitator) mengajukan konsep-konsep itu secara sederhana, jelas dan langsung.

    Fase  III.Expansion (Perluasan)

    Pada fase ini para siswa  mengembangkan konsep-konsep yang baru dipelajari untuk diterapkan pada contoh-contoh lain, dipakai sebagai ilustrasi konsep intinya dapat membantu para siswa mengembangkan  gagasan-gagasan mereka dalam kehidupannya.

    Fase  IV. Evaluation (Evaluasi)

    Pada fase ini ingin mengetahui penjelasan para siswa terhadap siklus pembelajaran ini. Evaluasi dapat berlangsung setiap fase pembelajaran, untuk menggiring pemahaman konsep juga perkembangan keterampilan proses. Evaluasi bukan hanya pada akhir bab. Dari fase-fase yang disebutkan di atas menurut  Carin dan Martin tujuan paedagoginya adalah sama. Untuk jelasnya seperti pada gambar.
    langkah-langkah siklus belajar (learning cycle)
    Fase-Fase Siklus Belajar (Learning Cycle 4E)

    Referensi:

    Carin, A.A . 1993. Teaching Science Through Discovery . Seventh Edition .New York : Mcmillan   Publishing Company.

    Martin, Ralph.E. 1994. Teaching Science For All Children. Boston :Allyn and Bacon.

    Bybee, W.R , Trowbridge L.W. 1996. Teaching Secondary School Science : Strategies for Develoving Scientific Literacy . New Jersey :Merrill Publishing.
    Baca Selengkapnya

    Cara Membuat Lembar Observasi : Contoh 1

    Cara Membuat Lembar Observasi PTK

    Banyak guru terhambat saat ingin melakukan penelitian tindakan kelas karena ketiadaan instrumen penggali data yang sesuai dengan fokus atau tujuan penelitian tindakan kelas yang akan mereka lakukan. Mereka sudah berusaha mencari-cari lembar observasi atau instrumen untuk pengamatan tersebut di mana-mana (di literatur maupun internet). Ada cara-cara yang dapat dilakukan guru untuk mengembangkan lembar observasi yang sesuai dan valid dengan ptk yang mereka lakukan.

    Sebenarnya, guru tidak perlu terhambat karena masalah seperti ini. Seharusnya, seorang guru yang ingin meneliti (melakukan PTK) dapat membuat sendiri lembar observasi (instrumen pengamatan) untuk penggali data tersebut melalui kajian pustaka atau kajian teori yang telah mereka lakukan.  Di bawah ini, saya akan mencontohkan bagaimana membuat sebuat instrumen untuk mengamati kemampuan guru mengelola pembelajaran yang mengacu pada model pengajaran langsung (direct instruction). 

    Langkah-Langkah Membuat Instrumen Lembar Observasi

    Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan untuk dapat membuat sebuah instrumen Lembar Observasi adalah sebagai berikut:
    1. Cari informasi sebanyak-banyaknya dari kepustakaan tentang aspek yang ingin diobservasi (bisa dilihat/diambil dari Kajian Teori/Kajian Pustaka pada proposal penelitian.
    2. Pilah-pilih informasi ensensial/penting, berdasarkan data yang harus dikumpulkan dalam penelitian melalui observasi.
    3. Buat lembar observasi dengan mengacu pada informasi penting tadi, sehingga data yang akan direkam oleh lembar observasi yang dikembangkan tersebut sesuai dengan data yang dibutuhkan, dan relevan dengan tujuan penelitian.
    Nah, taruh kata saya memperoleh dari buku yang saya baca tentang model pembelajaran langsung (direct instruction) ternyata mempunyai sintaks (langkah-langkah) pembelajaran yang harus dilakukan guru seperti berikut ini:

    Sintaks Model Pembelajaran Langsung

    No.TahapPeran Guru
    1.Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswaGuru menjelaskan tujuan pembelajaran, informasi latar belakang pelajaran, pentingnya pelajaran, mempersiapkan siswa untuk belajar
    2.Mendemonstrasikan keterampilann (pengetahuan procedural) atau mempresentasikan pengetahuan (deklaratif)Guru mendemonstrasikan keterampilan dengan benar, atau menyajikan informasi tahap demi tahap
    3.Membimbing pelatihanGuru merencanakan dan memberi bimbingan pelatihan
    4.Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balikGuru mengecek apakah siswa telah berhasil melakukan tugas dengan baik, memberi umpan balik
    5.Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapanGuru mempersiapkan kesempatan untuk melakukan pelatihan lanjutan, dengan perhatian khusus pada penerapan kepada situasi lebih kompleks dan kehidupan sehari-hari

    Maka saya dapat membuat sebuah instrumen penggali data tentang kemampuan guru mengelola langkah-langkah model pembelajaran langsung (Direct Instruction) dengan cara memasukkan poin-poin penting pada Peran Guru dan Tahap padatabel di atas sebagai poin-poin pengamatan (observasi) pada Lembar Observasi yang dibuat. Perhatikan Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola Langkah-Langkah Pembelajaran yang Mengacu Pada Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) berikut:

    Contoh Lembar Observasi yang Dibuat: 


    LEMBAR OBSERVASI
    KEMAMPUAN GURU MENGELOLA SINTAKS PEMBELAJARAN YANG MENGACU PADA MODEL PEMBELAJARAN LANGSUNG (DIRECT INSTRUCTION)

    Nama Guru     : .......................          
    Hari/Tgl          : .......................
    Mata Pelajaran : ....................              
    Jam ke            : .......................
    Siklus ke-       : ........................      
    Pertemuan ke : .......................
    Kelas              : ........................
    Materi            : ........................

    Petunjuk: Pengamat memberi tanda cek (v) pada kolom yang sesuai, Dibagian bawah tabel (ceklis)  isikan pula secara jelas hal-hal penting/menarik pada saat guru mengelola pembelajaran.

    click untuk memperbesar tabel
    Silakan di klik untuk memperbesar gambar tabel

    Deskriptor:
    Skor 1     : tidak dilakukan oleh guru
    Skor 2    : dilakukan oleh guru tetapi masih kurang baik
    Skor 3    : dilakukan oleh guru dengan cukup baik
    Skor 4    : dilakukan oleh guru dengan baik
    Skor 5    : dilakukan oleh guru dengan sangat baik

    Hal-hal menarik/penting lain saat guru mengelola langkah-langkah pembelajaran yang mengaplikasikan model pembelajaran langsung (direct instruction):
    1.    Tahap 1: Menyampaikan tujuan dan mempersiapkan siswa
    Catatan : ............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
    2.    Tahap 2 : Mendemonstrasi-kan keterampilan (pengetahuan procedural) atau mempresentasikan pengetahuan (deklaratif)
    Catatan : ............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................
    3.    Tahap 3 : Membimbing pelatihan
    Catatan : ............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

    4.    Tahap 4: Mengecek pemahaman dan memberikan umpan balik
    Catatan : ............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

    5.    Tahap 5 : Memberikan kesempatan untuk pelatihan lanjutan dan penerapan
    Catatan : ............................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................................

                            Paringin, .............................................................
                            Observer



                            (...........................................)
                            NIP......................................

    Nah, bandingkan Tabel pada Lembar Observasi dengan Tabel Sintaks sebelumnya. Sudah? Saya yakin anda pasti bisa membuat instrumen pengamatan semacam itu. Sebagai catatan, Lembar Observasi Kemampuan Guru Mengelola Langkah-Langkah Pembelajaran yang Mengacu Pada Model Pembelajaran Langsung (Direct Instruction) di atas hanya contoh. Anda dapat menggunakannya, tetapi lebih baik lagi bila anda dapat mengembangkan versi lain secara mandiri. Selamat mencoba. (Cara membuat lembar observasi ini juga telah disajikan pada saat penulis memberikan materi tentang PTK di MGMP Biologi tingkat SMA/MA dan MGMP Geografi tingkat SMA/MA di Kab. Balangan pada tgl 1 Mei 2012 lalu).
    Baca juga :
    Cara Menyusun Lembar Observasi PTK untuk Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing
    Contoh Lembar Observasi Frekuensi, Penyebaran, dan Kualitas Pertanyaan Siswa dalam Pembelajaran
    Contoh Lembar Observasi Keterampilan Bertanya Guru
    Contoh Lembar Observasi Pengelolaan Pembelajaran Model PBI (Pembelajaran Berdasarkan Masalah)
    Contoh Lembar Observasi Keterampilan Kooperatif Siswa
    Contoh Lembar Pengamatan Pengelolaan Pembelajaran Kooperatif
    Baca Selengkapnya

    Selasa, 01 Mei 2012

    Laporan Penelitian Pengembangan: Media Komputer

    Pengembangan Media Komputer Pembelajaran Pada Mata Pelajaran Bahasa Daerah Pokok Bahasan Aksara Jawa Kelas Vii Di Smp Negeri 2 Sidoarjo

    Oleh:
    Dewi Lili Amiyati dan Andi Mariono
    Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan
    Universitas Negeri Surabaya
    Kampus Lidah wetan

    Sumber Jurnal: 

    Jurnal Teknologi Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya Volume 10 No. 1 April 2010, halaman 100-111.

    Abstrak: 

    Media Komputer Pembelajaran adalah media yang menggunakan teknologi berbasis komputer merupakan cara menyampaikan materi dengan sumber-sumber yang berbasis microprosesor. Penggunaan media ini dalam proses pembelajaran dapat memotivasi siswa dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan. Pada mata pelajaran Bahasa Daerah dengan pokok bahasan Aksara Jawa, Siswa dituntut untuk mampu menguasai materi yakni dengan kompetensi dasar berupa membaca serta menulis akasara Jawa dengan baik dan benar. Dengan banyaknya konsep yang harus diserap serta proses pembelajaran yang digunakan masih bersifat klasikal sehingga menyebabkan siswa bosan dengan pembelajaran dikelas serta guru harus seringkali mengulangi materi pembelajaran. Model pengembangan yang digunakan adalah model pengembangan dari Arif S. Sadiman. Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif dengan data berupa kuantitatif dan kualitatif. Metode pengumpulan data menggunakan angket dengan mengambil subjek penelitian ini adalah dua orang ahli materi, dua orang ahli media, dan subjek uji coba tiga puluh tujuh siswa sebagai pengguna. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil analisis data yang diperoleh dari tahapan uji coba pada media komputer pembelajaran (CAI) yang dikembangkan, menunjukkan bahwa secara umum media CAI tersebut dinilai Sangat baik dengan rincian rerata sebesar 88,2 % pada uji coba Ahli Materi, 87,6% Uji coba Ahli Media, 86% uji coba perorangan, 88,3% dan 87,5% Uji coba kelompok besar.

    Kata kunci : Pengembangan, Media Komputer Pembelajaran, Mata pelajaran bahasa daerah
    pokok bahsan aksara Jawa.


    1. Pendahuluan

    Dewasa ini perkembangan Teknologi dan Informasi berjalan begitu pesat khususnya perkembangan teknologi di bidang pendidikan yang telah banyak memberikan sumbangan dalam pembelajaran yang bertujuan untuk memudahkan proses belajar mengajar dan memecahkan masalah belajar. Salah satu kemudahan yang didapat yakni adanya penggunaan dan pemanfaatan media dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran sebenarnya merupakan alat bantu yang dapat digunakan oleh guru dalam membantu tugas kependidikannya. Media pembelajaran juga dapat memudahkan pemahaman siswa terhadap kompetensi yang harus dikuasai, materi yang harus dipelajari dan dapat mempertinggi hasil belajar (Mulyanta&Marlon, 2009 : 2). Berbagai macam media pembelajaran telah diciptakan, dari media yang sederhana misalnya buku, modul, sampai media yang semakin canggih yang disebut dengan media komputer pembelajaran (computer assisted instruction – CAI).

    Media komputer pembelajaran yaitu media yang menggunakan teknologi berbasis komputer merupakan cara menghasilkan atau menyampaikan materi dengan menggunakan sumber – sumber yang berbasis microprosesor. Menurut Arsyad (2007 : 32) pada dasarnya program media pembelajaran berbasis komputer ini menggunakan layar kaca untuk menyajikan informasi kepada siswa. Penggunaan media komputer pembelajaran dirancang untuk dapat memotivasi siswa dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilannya karena media ini memiliki karakteristik menarik, interaktif, inovatif dan variatif, (Warsita, 2008: 137). Dengan adanya penggunaan media komputer pembelajaran.........................Baca Makalah ini selengkapnya sebagaimana sumber aslinya.
    Baca Selengkapnya